Oleh: Dr Syaiful Bahri Rurai
REZIM pilkada serentak adalah niscaya. Pilkada sebagai proses suksesi kepemimpinan di berbagai daerah, seyogyanya berlangsung demokratis dalam makna yang sesungguhnya.
Jika sistem suksesi dalam negara super plural ini tidak dikelola dengan baik, bukan tidak mungkin, Indonesia akan menjadi negara gagal. Daren Acemoglu dan James A.Robinson membahas mengapa negara itu gagal, karena kebijakan yang tidak inklusif.
Nakh, pilkada seharusnya bukan sebuah ekslusivisme untuk lalangan elit semata, namun ia adalah ruang inklusif dimana partisipasi publik terbuka lebar tanpa ancaman anarkisme, sukuisme dan embel-embel money politics.
Artinya proses pelibatan publik secara egaliter belum berlangsung dengan sehat, terbuka, sebagai suatu tuntutan bagi membaiknya kualitas demokrasi kita.Padahal persoalan kebangsaan kita berkembang semakin komplikatif, ada proses perekrutan elite yang belum berjalan sebagaimana mestinya.

Rakyat tidak digerakkan karena alasan-alasan money politics yang disebar para cukong politik dan para broker atau tim sukses yang bermain dibelakang panggung.
Tokoh reformasi seperti Amien Rais, dalam sebuah wawancara, turut menyesalkan karena tidak sempat memprediksi maraknya fenomena money politics yang akan terjadi seiring reformasi.
kampungisme, dan apapun yang sejenis dalam proses pilkada, pada dasarnya adalah pengkhiatanan terhadap “imagined community” sebuah bangsa. Dan itu merusak jati diri keindonesiaan kita tanpa disadari.
Persoalannya kenapa itu terjadi, jawaban simpelnya adalah karena elite kita miskin gagasan kualitatif dan konstruktif untuk dijadikan jualan dan menu sehat kepada khalayak.
Artinya mereka gagal mendidik komunitasnya sendiri. Itulah yang disebut cendikiawan Vedy R.Hadiz, sosiolog Indonesia yang mengajar di Australia itu sebagai demokrasi yang sakit.
Berdemokrasi tanpa belajar, memang hanya menghasilkan predator-predator bagi sistem bernegara.
Tentu saja kita semua, yang masih berakal sehat, berharap pilkada serentak 2020, akan lebih baik membawa negeri ini ke arah demokrasi yang benar dan sehat, bukan sebaliknya.
Semoga saja 20 tahun reformasi menjadi waktu yang lebih dari cukup bagi kita untuk berubah. Tiada sesuatupun yang abadi terkecuali perubahan itu sendiri. Pancta rhei, semua mengalir, kata Heraklitos
(Kafe Jarod, 22 September 2019).