Harimanado.com, JAKARTA — Cendekiawan Sulawesi Utara, yang notabene ahli ilmu otak Dr dr Taufik Pasiak MKes, akhirnya, kembali membuka mata akademisi nasional. Hal
ini terlihat dalam acara bedah buku karyanya, yang berjudul ‘Spiritual
Neuroscience; Behavioral Implication in Clinics and Leadership.
Perlunya De-kontruksi atas kesalahpahaman peranan otak manusia
Indonesia, yang diselenggarakan oleh Majelis Nasional (MN) Korps
Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) di Perpustakaan Nasional,
Jakarta Pusat, Kamis (28/11).
Dalam penjabarannya, Taufik Pasiak, yang juga Dosen Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) ini mengatakan bahwa
otak manusia mempunyai keuanggulan yang bisa menyamakan imaginasi dan
fakta. Sehingga bisa menggunakan virtual reality untuk menghadirkan
fakta dan reality hadir dalam otak manusia.
“Dalam beberapa contoh di negra-negara maju, yang telah menggunakan
vurtual reality untuk menghadirkan syurga dan neraka, atau ka’ba atau
bisa naik haji hanya menggunakan virtual reality dalam otak manusia.
Resiko ketika virtual reality hadir maka waktu akan menjadi mampat,”
ujar Taufik.

Dia menjelaskan, revolusi industri 4.0 ditandai dengan penerapan
teknologi canggih di pelbagai bidang kehidupan. Neuroteknologi
(Teknologi Otak), sebagaimana disebut Klaus Schwab, dalam World
Economic Forum (2016), merupakan salah satu teknologi penting dengan
pengaruh sangat luas. Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR)
adalah 2 bentuk neuroteknologi yang mengubah pemahaman manusia atas
waktu, tempat dan
eksistensi dirinya.
“VR dan AR memungkinkan lahirnya dunia ‘imarelaitas’ realitas faktual
dalam wadah otak,” tegas Presidium Majelis Wilayah (MW) KAHMI Sulawesi Utara ini

.
Dalam penerapan ekstrimnya, lanjut Pasiak, surga neraka pun bisa
dihadirkan secara imarealitas. Tak perlu menunggu dunia kiamat atau
tiba di Akhirat. Cukup memasang komputer supercanggih di kepala (mirip
kacamata) dan kita segera berada dalam imarealitas dunia nyata dalam
kepala.
“Temuan ini membuktikan kemampuan otak lebih dari yang diperkirakan
oleh dunia kedokteran. Teknologi otak membuktikan bahwa kemampuan
manusia melebihi dari yang dapat dibayangkan. Satu di antaranya, otak
adalah wadah dimana elemen fisik, mental dan spiritual bertemu dalam
satu hubungan yang saling pengaruh memengaruhi,” jelasnya.
Dia menegaskan, otak adalah satu-satunya organ tubuh yang secara
evolutif berkembang terus sepanjang waktu. Ini karena hampir setiap
detik otak dibombardir dengan informasi. Hubungan elemen fisik, mental
dan spiritual memungkinkan otak menjadi mesin hidup supercanggih
(sophisticated living machine) yang keberadaannya berpengaruh dalam
semua bidang kehidupan.
“Dari ekonomi hingga politik, dari penyakit hingga
kebahagiaan manusia. Dari ritual hingga transcendental,” bebernya.
Dia juga menambahkan bahwa neurosains spiritual adalah bidang kajian
dimana perilaku spiritual ditelusuri dan ditelisik melalui pemahaman
kinerja otak. Selama ini, spiritualitas secara terbatas dikaji
dalam bidang2 yang berkaitan dengan agama atau psikologi, atau paling
jauh ilmu-ilmu sosial. Ruang lingkupnya menjadi terbatas karena elemen
fisik, mental dan spiritual menjadi terpisah dan terbagi-bagi. Padahal
otak menjadi powerfull ketika 3 elemen itu bekerja dengan baik.
Warisan-warisan kearifan kuno hingga sains modern menyodorkan
bukti bagaimana ketiga elemen itu saling memengaruhi. Dalam dunia
kedokteran, spiritualitas berpengaruh terhadap terjadinya penyakit dan
optimalnya penyembuhan. Dunia kedokteran membutuhkan spiritualitas
lebih dari yang
digunakan hari ini. Mereka yang percaya pada Tuhan (believers) dan
tidak percaya
Tuhan (non believers) memiliki kinerja otak yang berbeda ketika
menghadapi pelbagai
masalah kehidupan. Believers menunjukkan aktivitas yang secara signifikan lebih
sedikit di daerah otak bernama Cortex Cingulatus Anterior (CCA).
Secara evolutif, daerah ini menjadi jembatan antara daerah rasional
otak (cortex cerebri) dan daerah
emosional otak (sistem limbik). Secara fungsional, daerah ini mengatur
perubahan
perilaku ketika kendali diri dan perhatian dibutuhkan untuk merespon peristiwa-
peristiwa yang menimbulkan kecemasan. Kecemasan adalah sifat manusia
yang menjadi
akar dari banyak masalah kehidupan. Semakin kuat iman seseorang, maka
makin sedikit
aktivitas CCA ini, yang artinya, makin sedikit kecemasan yang dialami. Dalam
perspektif Neurosains Spiritual, kecemasan adalah titik utama dan inti
dari pelbagai
masalah yang dialami manusia modern. Kecemasan yang dimaksud melebihi dari
kecemasan yang dipahami selama ini dalam bidang psikiatri dan psikologi klinik.
Kecemasan disini terkait dengan ketiadaan harapan atas segala sesuatu.
Seseorang
menjadi terlepas dan terpisah dari apa yang menjadi harapan di masa
depan., terhadap
apa saja. Dari kedudukan politik hingga tiadanya makanan untuk hari esok. Dari
kehilangan sesuatu hingga mendapatkan sesuatu. Mereka yang percaya pada Tuhan
cenderung berusia lebih panjang, sehat dan bahagia. Kepercayaan pada
Tuhan menjadi
suatu strategi kognitif menghadapi pelbagai problem klinis. Saya menyebutnya
Cognitive Transcendence Strategies (CTS), yang terdiri dari 3
komponen: willpower,
self control dan resilience. Dalam bidang kepemimpinan, kecemasan dan
masalah pada CCA ini berimplikasi
terhadap Fleksibilitas Kognitif (Cognitif Flexibility). Yakni, kemampuan untuk
menghasilkan beragam ide, mempertimbangkan alternatif respons, dan memodifikasi
perilaku untuk mengelola keadaan yang berubah-ubah. Keadaan yang berubah-ubah
secara cepat dan susah diduga (uncertainty) yang menandai era disrupsi saat ini
membutuhkan kelenturan berpikir (Cognitif Flexibility) yang prima.
Kelenturan berpikir
merupakan kemampuan mental yang paling penting untuk memfasilitasi pembelajaran
dan penyusunan ulang sebagai keterampilan untuk meningkatkan fungsi
penyesuain diri
dengan perubahan dalam situasi kehidupan. Problem yang dihadapi saat
ini dan menjadi alarm bahaya bagi keberlangsungan hidup
bangsa adalah problem hoax, radikalisme dan korupsi. Ketiga problem
ini merupakan
produk dari terganggunya kelenturan berpikir (Cognitive Flexibility
Disorder/CFD).
Suatu penyakit dalam cara berpikir yang menyengsarakan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Jika tak dikelola dengan baik, maka 3 CFD ini akan menjadi serangan
internal yang merusak bangsa di masa depan.
“Baik CTS maupun CFD membutuhkan keseriusan untuk memahami dengan mendalam
bagaimana otak manusia menyinergikan elemen fisik, mental dan
spiritual. Pemahaman
yang salah soal kinerja otak, seperti terjadi selama ini, harus
didekontrusi dan diubah
paradigmanya. Untuk itu, wajib bagi Indonesia menyelenggarakan suatu
upaya politik
memahami kinerja otak. Upaya itu berusa penetapan Dekade Otak Indonesia (DOI)
yang melibatkan semua bidang kehidupan,” jelas Pasiak.
Turut hadir dalam acara ini para alumni HMI yaitu Prof Dr dr Fasli
Djalal Sp GK (Rektor Universitas YARSI Jakarta), Dr Teuku Taufiqulhadi
MSi, Prof Dr dr Ali Ghufron Mukti, dan Dr Syaiful Bahri Ruray
(Politisi/moderator), Prof Dr Muclhis R Luddin MA (Inspektur Jenderal
Kemendikbud). Selain itu juga momentum ini turut dihadiri politisi Sulut yakni Herson Mayulu, Elly E Lasut (Bupati terpilih Kabupaten Talaud) dan Djafar
Alkaltiri (Anggota DPD-RI). (tr09/but)