PESTA demokrasi yang digelar secara nasional yaitu Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilres) April 2019 lalu, akhirnya, sukses dilewati. Gelagat dan dinamikanya cukup terasa dan menyita energi masyarakat Sulawesi Utara.
Namun demikian, fenomena Pileg dan Pilpres April 2019, dipastikan akan kembali terasa pada Pilkada serentak yang dijadwalkan pada pekan
ketiga September 2020. Yang dimana, tahapannya sudah berjalan mulai September 2019 ini.
Untuk diketahui secara nasional pilkada itu diselenggarakan pada 270 daerah pemilihan. Rincihannya, sembilan provinsi memilih gubernur, 224 kabupaten memilih bupati dan 37 kota memilih wali kota.
Sementara di Sulawesi Utara akan memilih gubernur dan 7 (tujuh) kabupaten/kota akan memilih bupati/wali kota yaitu Kota Manado, Kota Tomohon, Kota Bitung, Kabupaten Minahasa Utara (Minut), Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel) dan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim) serta Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel).
Yang kini hampir semua partai politik (Parpol) peserta pemilu di Sulut, terkonfirmasi sudah dan telah membuka pendaftaran bakal calon kepala daerah yang akan bertarung dalam kontestasi demokrasi lima tahunan nanti.
Tentunya, kita bersama mengambil pelajaran fenomena politik Pileg dan Pilpres April 2019 lalu. Salah duanya yaitu menguatnya eksploitasi identitas sebagai bagian dari propaganda politik atau politik SARA, dan meningkatnya hate speech (ujaran kebencian).
Keduanya, bisa dikatakan bagian dari indikator yang mengikis nilai – nilai demokrasi, sebagaimana yang diharapkan.
Bahkan, bisa menjadi pemicu menurunnya indeks demokrasi kita.
Untuk itu, Pilkada serentak 2020 nanti akan kembali diuji kematangan dan kedewasaan dalam menyelami arena kontestasi politik. Dengan harapan bersama proses pemilu, untuk memilih kepada daerah berjalan lancar, sukses dan beradab.
Selain itu juga produknya menghasilkan kepada daerah yang bisa membawa terobosan peningkatan kesejahteraan rakyat secara umum.
Saya mengutip narasi salah satu akademisi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Dr Ferry Daud Liando. Salah satu penegasannya bahwa elit politik atau politisi harus memiliki pengetahuan dan kecakapan teknis untuk pencapaian tujuan ideologi Negara.
Tujuan ideologi Negara yaitu memujudkan Indonesia adil makmur.
Narasi tersebut mewarning sekaligus mengingatkan politisi, khususnya para calon kepala daerah.
Tujuan memilih sikap untuk bertarung dalam pentas pilkada karena keterpanggilan untuk memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bukan tujuan kekuasaan demi memperkaya diri, keluarga dan kelompok.
Untuk itu, politisi yang tidak mempunyai pengetahuan ideologi, bisa dipastikan tidak akan memiliki tujuan dalam pengabdian itu.
Politisi sejati itu berpikir bagaimana bisa berguna dan bermanfaat bagi orang lain. Puncak seorang politisi ketika mencapai taraf kebermanfaatan untuk rakyat.
Sebab, salah satu tugas politisi adalah mengurusi orang banyak agar mencapai suatu tatanan kehidupan sebagaimana yang diharapkan dan dicita-citakan bersama. Selamat Tahun Baru 2020 dan selamat menyambut tahun politik. (***)