harimanado.com
Selalu Ada Yang Beda
PLN
how to make a woman squirt.like it https://www.weneedporn.online
like itjav the thai massage.
nude milfs

SEJARAH EPIDEMI, SULUT-GORONTALO (2)

Oleh

Basri Amin

SECARA buru-buru saya terpaksa loncat di awal abad ke-20.

Penyakit  makin beragam, meski perluasan angka kematian tidak separah di periode krisis di abad ke-19.

Terkecuali, pada periode 1918/1919 ketika pandemi “Flu Spanyol” menyerang dunia, termasuk Indonesia (Nederlands- Indie).

Secara cepat, serangan penyakit di awal abad 20 lebih banyak berupa “penyakit kulit” (1920an-1950an di Banggai, Sulawesi Tengah; 1914 di Talaud ), penyakit Beriberi (Gorontalo, 1909; Tobungku, 1934); kasus “batu ginjal” di Minahasa (1940an) atau “Gondok” di beberapa daerah dataran tinggi Minahasa di era 1920an.

Cukup unik disebutkan bahwa pada tahun 1931 di Tondano, sekitar 60% penduduk terinfeksi penyakit ‘parasit usus’ (cacingan); begitu juga di Sangir.

Pandami 1918-1919, yang lebih terkenal dengan nama “Flu Spanyol” –juga disebut oleh pakar sebagai ‘Ibu seluruh pandemi dunia’–, menyebabkan kamatian mencapai 2,5 juta di Indonesia (Chandra, 2013)

Di masa itu, sekolah dasar (HIS) ditutup di Gorontalo karena pandemic Flu Spanyol ini. Jumlah kematian di Indonesia Timur sangat signifikan, antara lain sekitar 6 persen penduduk Makassar meninggal dan 60 persen terjangkit (jumlah penduduk 26.000 jiwa).

Related Posts
jrbm

Di Pulau Seram, 10 persen penduduknya meninggal, sementara di Papua dan Maluku tercatat 10 orang dari 1000 penduduk meninggal karena serangan virus ini (Historia, Lie, 2020).

Pandemi global “Flu Spanyol-1918” berdampak serius di Donggala dan di sekitar Teluk Palu, sehingga 6 persen penduduknya meninggal,

sementara di Kulawi sekitar 13 persen dan di Besoa sekitar 17 persen. Khusus Gorontalo, tak kalah seriunya, tercatat 10-11 persen penduduknya meninggal (jumlah penduduk sekitar 120 ribu orang) karena “Flu Spanyol” 1918. Hanya di Buol dan di Minahasa yang dilaporkan dampaknya cukup kecil (Henley, 2005).

Perlu pula dicatat, di awal abad ke-20, penyakit Tipes (Typhus abdominalis) adalah penyakit yang penularannya tinggi kawasan ini, meski dengan kematian yang tidak terlalu besar, sebagaimana dialami Minahasa, Bolaang Mongondow dan Gorontalo.

Di abad sebelumnya, di pulau Sanger Besar, pernah mengalami kematian 3.376 karena “penyakit liver” atau “demam” yang serius.

Seluruh perkembangan kesehatan di periode tersebut di atas telah dipelajari mendalam oleh Prof. David Henley di Leiden melalui studi seminalnya pada periode 1600-1930 (Henley, 2005).

Adalah sangat mengejutkan kalau kita perhatikan record ilmiah di masa pertengahan abad ke-20, hal mana perhatian kita tampaknya demikian cepat menuju sains medis, tapi sepertinya agak lengah membangun basis riset farmakologis di tingkat regional.

Di kemudian hari, faktor yang sewajarnya disimpulkan sebagai penentuk kunci yang sukses menekan penyebaran epidemi di kawasan Utara Sulawesi bukan (semata) karena pengobatan dan vaksin yang meluas,

melainkan karena faktor “perilaku sehat” dan suplai makanan atau kondisi gizi yang membaik.

Secara khusus di Gorontalo, bahkan ketika memasuki awal abad ke-20, dilaporkan oleh pejabat-pejabat Belanda bahwa faktor “ketersediaan air bersih” yang tersalurkan ke rumah-rumah penduduk adalah kebutuhan mendasar. Dengan itulah kesehatan primer bisa terkendali di kota ini.(bersambung)

 

 

Leave A Reply

Your email address will not be published.