Oleh
Basri Amin
PERJUMPAAN antara sains medis dan tradisi pengobatan di kawasan utara nusantara membutuhkan eksplorasi yang lebih luas di masa kini.
Tradisi herbarium dan praktik “jampi-jampi”, meski hadir bersamaan di masa yang panjang, tapi tampaknya yang paling membanggakan kita kembangkan adalah “tradisi herbarium” itu.
Selain memberi gambaran bahwa leluhur kita punya reaksi yang relatif terstruktur kepada lingkungan sekitarnya,
tradisi tersebut sekaligus memberi kita pemetaan awal dan modal pengetahuan dasar tentang daya dukung ekologis sebagai fondasi kesehatan masyarakat ke masa depan.
Hal ini tak mengandung maksud dikotomis dengan pengobatan modern, hal mana harus dipandang sebagai prosedur ilmiah yang laboratoris, kimiawi dan intervensionis.
Khasanah lokal kita di bidang pengobatan atau kesehatan, atau dalam istilah mutakhir, etnomedisin, haruslah kembali ditempatkan sebagai sektor potensial.
Sains modern dan pusat-pusat keunggulan di negeri ini harus memadangnya lebih serius.
Terlebih kalau kita menyandarkan perhatian ini secara produktif berdasarkan pijakan-pijakan akademis yang kokoh,
sebagaimana kita tahu bagaimana sejarah floracrats –atau keilmuan biologi dan ekologi– pernah gemilang di negeri ini dan menjadi bagian dari ordinat penting di dunia, termasuk dalam riset “tumbuhan obat” (Goss, 2014).
Di tingkat lokal, wawasan Wallacea bisa digemakan kembali (Kinnaird, 1997) untuk melihat bagaimana sejarah alam Sulawesi Utara membingkai keanekaragaman hayati yang belum sepenuhnya ‘terolah maksimal’ secara farmakologis.
Di tingkat praktik kesehatan, di Gorontalo sendiri punya jejak dalam riset pioner etnografi kesehatan sebagaimana pernah dikerjakan oleh Ismail A. Kadir, Sri Handayani, Wigati, dkk (2012) untuk memahami hubungan-hubungan praktik kesehatan di level kampung.
Sejumlah tindakan “pengobatan lokal” berlangsung dalam sejarah hidup masyarakat, sesuai dukungan alam dan otoritas yang dipercaya oleh mereka.
Di sektor yang relatif berhubungan langsung dengan stok pengetahuan medis berbasis “tanaman lokal” beserta perlakuan-perlakuan khususnya,
sebuah riset besar pernah dikerjakan dengan baik –menurut konstruk etnomedisin—di beberapa wilayah di Gorontalo oleh Tim UNG (29 orang) atas inisiatif Badan Litbang Kemenkes, R.I. (Utina, dkk, 2012).

Kita percaya, gejala serupa terjadi hampir di semua kelompok etnis di nusantara. Kajian dan pengembangan di bidang ini juga sudah berlangsung sejak masa kolonial.
Sebagai bangsa yang kaya tradisi dan sumberdaya alam, sains Indonesia di bidang herbarium tak bisa dipandang sebelah mata.
Marilah kita baca riset panjang Andrew Goss Georgia Regents University, Georgia, Amerika Serikat.
Minahasa adalah daerah yang harus kita catat di bidang ini di tingkat nasional dan internasional.
Saya membaca kembali bagaimana komitmen dan kontribusi akademis Prof. (Dokter) Boetje Moningka, sejak tahun 1980an.
Artikel ilmiah beliau dimuat dalam edisi khusus (warna merah-hati) jurnal ternama Antropologi Indonesia (No. 51, Januari-April 1995:75-107).
Sangat jarang, untuk tidak menyatakan barangkali tidak ada di masa itu, seorang farmakolog yang utuh memihak secara ilmiah di bidang etnomedisin.
Prof. Boetje H. Moningka konsisten di bidang ini. Puncaknya, antara lain, adalah keterlibatan ilmuan dari Eropa untuk datang belajar di Minahasa,
khususnya di Tonsea. Proponennya adalah Prof. Peter van Eeuwijk dari Universitas Basel (Swiss), beserta mahasiswa dan kolega akademisnya di Jerman (Dr. Alexandra Kraatz).
Mereka semuanya disupervisi dan dikawal oleh sosok Prof. Boetje Moningka. Sebuah kesetiaan dan kesaksian akademis, yang hingga kini sangat patut kita teladani.
Kita butuh Guru yang sebenar-benarnya: tidak semata karena hebat mengajar, melainkan (terutama) karena kokoh memberi panutan terbaik (Ulaen, 2019).
Sulawesi Utara-Gorontalo, mengingat proksimiti wilayah dan kekayaan alamnya, sangat potensial menggerakkan sains lokal-nya,
dengan perhatian khusus di bidang penyakit tropis dan/atau epidemi/pandemi tertentu yang bisa mengkombinasi pengetahuan/pengalaman lokal dan pendekatan sains (medis) modern.
Selain itu, agar bentuk-bentuk pembelajaran bersama dan jejaring internasional bisa berkembang produktif di masa depan. ***
————————
Basri Amin adalah Alumnus UNSRAT Manado (1992-1996). Pernah belajar di East-West Center (EWC), Univ. of Hawaii at Manoa; Univ. Leiden, Nederland, (2004-2012). Sejak 2013 berkerja di Univ. Negeri Gorontalo (UNG) dan Pusat Studi Dokumentasi (PSD) H.B. Jassin, Gorontalo.