BESOK lusa kita memasuki Tahun Kerbau. Jenisnya Kerbau Logam. Apakah kita akan jadi orang dungu seperti kerbau? Atau harus kerja keras seperti kerbau?
Yang utama, seperti apa ekonomi kita di Tahun Kerbau? Selalu ada dua sisi penglihatan: yang optimistis dan yang pesimistis. Atau yang over confident dan yang realistis. Yang optimistis mengatakan ekonomi tahun ini bisa tumbuh 5,5 persen.
Saya amati yang optimistis itu umumnya ekonom pemerintah. Atau yang dekat dengan pemerintah. Sikap itu didasari banyak hal. Misalnya vaksinasi lagi dikebut. Keraguan akan keseriusan vaksinasi itu pelan-pelan bisa hilang dari medsos –yang semula bisingnya bukan main.
Kalau akhir Juli nanti vaksinasi bisa selesai –terutama di provinsi-provinsi penting secara ekonomi– roda akan bisa mulai berputar di bulan September.
Berarti kita punya sisa 5 bulan yang kerbaunya bisa dipacu. Apakah kerja keras lima bulan bisa mengejar pertumbuhan 5,5 persen. Kita akan buktikan. Sekali lagi. Apakah akan ada perkembangan yang meroket.
Dukungan alasan lainnya: secara empiris setiap kali selesai krisis, ekonomi bisa tumbuh cepat. Itu naturalnya. Itu terbukti di mana-mana. Setahun terakhir kita dalam keadaan resesi. Pertumbuhan ekonomi 2020 minus 2,3 persen.
Mengapa begitu jelek? “Belanja pemerintah kan masih kontraksi. Belanja rumah tangga juga belum bangkit,” katanya. “Investasi juga masih stagnan”, tambahnya.
Anthony tertawa kalau ada yang membanggakan besarnya cadangan devisa.
“Cadangan devisa itu naik karena diisi dari utang. Istilah saya, doping rupiah. Jadi peningkatan itu semu, hasil intervensi dari utang,” ujarnya.
Apakah SWF (Sovereign Wealth Fund) tidak bisa mengangkat ekonomi?
“Tidak bisa,” ujar Dr Anthony. “Bahkan saya skeptis SWF bisa berhasil,” katanya.
Saya sendiri setuju bahwa tahun kerbau ini akan lebih baik dari tahun lalu. Tapi untuk mencapai 5,5 persen tentu masih berat.
Saya termasuk orang yang optimistis. Tapi saya juga masih menunggu apakah Menko Perekonomian bisa memimpin restrukturisasi utang perusahaan. Atau bahkan Presiden Jokowi secara langsung yang mengawasinya.
Momentum vaksinasi memang harus dimanfaatkan maksimal. Bulan Februari sampai Juli adalah bulan vaksinasi. Terutama untuk provinsi andalan ekonomi.
Maka bulan Februari-Juli seharusnya juga bulan restrukturisasi utang perusahaan. Besar maupun kecil.
Jangan sampai ketika vaksinasi sudah selesai restrukturisasi utang perusahaan belum tertangani. Kalau itu yang terjadi, saya setuju dengan Dr Anhtony: kita akan minus lagi di tahun kerbau ini.
Tapi saya juga setuju dengan berita yang beredar dua hari lalu: jangan sampai restrukturisasi utang perusahaan itu ditunggangi. Yakni perusahaan yang sebelum Covid pun sudah tidak bisa bayar utang. Jangan sampai mereka itu disamakan dengan perusahaan yang benar-benar sulit akibat Covid.
Bank Mandiri, misalnya. NPL-nya naik bukan karena Covid. Tapi akibat tiga perusahaan besar yang sebelum Covid pun sudah bermasalah.
Saya lihat langkah-langkah vaksinasi demikian lancarnya. Tapi saya belum melihat kelancaran itu dilakukan di sektor restrukturisasi utang perusahaan. Rasanya waktu masih cukup untuk mengejar.(*)