oleh: Dr Syaiful Bahri Ruray
INSIDEN di asrama mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang yang berbuntut panjang hingga demo besar besaran di Manokwari, Sorong, Jayapura dan Makassar, dan terakhir ditolaknya kunjungan Gubernur Papua, Lukas Enembe dan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawangsa dan rombongan, di Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya.
Peristiwa ini menghiasi media massa nasional di sela-sela riuh rendahnya pemberitaan pemindahan ibukota RI dari Jakarta ke Kalimantan Timur yang diumumkan Presiden Jokowi, seakan memaksakan saya untuk membuka kembali buku lama tentang “Risalah Sidang BPUPKI” terbitan Sekneg RI, 1995.
Lembaga BPUPKI dan PPKI, yang dipimpin dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat sebelum Proklamasi, telah membahas berbagai hal penting untuk sebuah “nation state” Indonesia yang akan dimerdekakan nanti.
Salah satu pasal yang dibahas dan berdebat panjang adalah soal wilayah, terjadi perbedaan antara Bung Hatta dan kubu Ir. Soekrano, Mr. Moh. Yamin, KH.Abikusno Tjokrosuyoso, Mr. Soepomo, dkk tentang teritorial Indonesia.
Hatta menghendaki Indonesia adalah bangsa Melayu- Polinesia dimana Maluku/Halmahera adalah batas antropologisnya.
Sedangkan Soekarno dkk membantah, bahwa Indonesia kelak termasuk Irian Barat karena bekas daulat kesultanan Tidore.
.Hatta membedakan Melanesia dan Polinesia berdasarkan garis Wallacea (Wallace Line).
Namun dalam perdebatan di BPUPKI tsb, Irian Barat menjadi bagian dari “nation state” Indonesia karena merujuk Traktat London,1814, sebagai dasar teritorial eks Nederlandsch Indische..dan Konferensi Meja Bundar, Den Haag, Desember 1949, pun mengakui hal yang sama.
Walaupun kita tahu Belanda kemudian mengingkari untuk melaksanakan isi perjanjian KMB dan berbuntut Ir.Soekarno mencanangkan Trikora 1961.
Trikora sendiri dicetuskan untuk merebut Irian Barat kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Soekarno pun menetapkan Sultan Tidore, Zainal Abidin Syah, sebagai Gubernur Irian Barat dan Tidore ditetapkan sebagai ibukota perjuangan Provinsi Irian Barat.
Lalu disusunlah Operasi Mandala, dipimpin MayJen. Soeharto, untuk menggelar operasi militer besar terpadu merebut Irian Barat.
Ini adalah operasi gabungan terbesar dalam sejarah militer Indonesia. Kampung saya, Maluku Utara, khususnya Halmahera pun dijadikan basis terdepan operasi militer ABRI terpadu itu.
Sebutlah nama Komodor Laut Yos Sudarso yang gugur dalam pertempuran Laut Aru, Kapten RPKAD Benny Moerdani yang membawa pasukan terjun payung di Merauke, Mayor Mobrig Komandan Resimen Pelopor Anton Soedjarwo yang mendarat di Sorong dan melakukan defile pertama pasukan Indonesia di Irian Barat, Lettu RPKAD Dolf Latumahina yang melakukan operasi penyusupan bawah air dengan kapal selam tercanggih dan anti radar saat itu, Letda Infanteri Faisal Tandjung, Letnan Satu Eddy Sudradjat, juga Komodor Leo Wattimena sebagai komandan Wing Udara di Morotai yang disiapkan untuk merebut Landasan Biak, adalah sebagian kecil dari nama-nama yang terlibat dalam Operasi Mandala.
Dan kita tahu, Irian Barat pun akhirnya menjadi bagian dari NKRI setelah desakan John F. Kennedy melalui New York Agreement, pada 15 Agustus 1962, dibawah PBB. UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority) pun dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB untuk melaksanakan penentuan nasib sendiri Irian (PEPERA).
Juga beberapa waktu lalu, telah diekspos hasil sebuah riset akademis terbaru Lembaga Eijkman, Bogor (Prof. Herawaty dan Prof.Sangkot Marzuki), yang meneliti tentang DNA manusia nusantara, ternyata menemukan bahwa penduduk awal nusantara adalah Papua dan Alor sebagai pemilik DNA tertua.
Berdasarkan teori “Out of Africa” 1 hingga 4 yang membentuk migrasi umat manusia dimuka bumi dan nusantara.
Terhitung sejak banjir bandang bahtera Nabi Nuh AS sebagai penyebab migrasi awal. Teori ini juga didukung riset ahli paleo- antropologi dan arkeolog Australia Prof. Peter Bellwood yang menulis “First Migration” dimana migrasi awal penduduk Austronesia adalah Papua.
Dua teori ini seakan mematahkan argumentasi Hatta pada masa-masa awal sebelum proklamasi bahwa Melanesia berbeda dengan Melayu Polinesia yang mendiami Indonesia, Malaysia, hingga Filipina tsb.
Namun saat-saat kita tengah merayakan 74 tahun hasil proklamasi yang berbasis hasil-hasil sidang BUPKI tersebut,
Ironi masih terjadi dengan rasisme atas masyarakat Papua, walau merekalah sebenarnya adalah pemilik awal yang sah dari bumi nusantara.
Bangsa inipun tersentak terhenyak oleh ungkapan rasisme yang terjadi di Asrama Mahasiswa Papua, Surabaya yang berbuntut panjang.
Hal yang sangat kita selalu jika kita sadar sejarah, sadar akan perjalanan Indonesia sebagai nation state yang berliku-liku bahkan berdarah darah.
Lihat lembaran sejarah paska proklamasi 17 Agustus 1945, kita masih mengalami dua kali Agresi Belanda pada 1947 dan 1948, dimana Pasukan Belanda di bawah pimpinan Panglima KNIL Jenderal Simon Spoor dengan 60.000 pasukannya menduduki Jogja sebagai ibukota Indonesia saat itu.
Soekarno, Bung Hatta dan Sutan Syahrir pun sempat ditahan.
Untung saja dalam kondisi genting tersebut, ibukota negara dan pemerintahan darurat pun ditetapkan di Palembang dan Mr. Syafruddin Prawiranagara sebagai Presidennya, agar sebagai negara, Indonesia tidak mengalami “vacuum of power” atau kekosongan pemerintahan dan negara dinyatakan lumpuh.
Adapun terhadap rasisme yang kita alami terakhir ini, semoga saja peristiwa tsb menjadi kilas balik, agar kita tidak lupa akan diri kita, tidak melakukan dosa kolektif karena memilah-milah anak bangsa dengan tindakan dan sebutan rasisme, karena hal itu adalah menodai perjuangan dan keikhlasan para pendahulu, dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat, Ir. Soekarno, Mr. M.Yamin dkk…
Walau kita sama-sama sadar bahwa sebagai nation state, Indonesia memang belum ”taken for granted.” Justeru ditangan kita2lah, generasi kini, pekerjaan tsb harus dilanjutkan, harus disempurnakan. Bukan sebaliknya, ditangan kita justeru bangsa ini terpuruk dalam dis-integrasi karena rasisme.
Padahal Arysio Santos, seorang fisikawan nuklir Brasil, menulis ttg “Atlantic, The Lost Continent Finally Found” menyatakan bahwa bukti peradaban besar tentang Antlantis adalah terletak di nusantara, ia menyebut “the sundaland” sebagai kawasan peradaban awal tersebut. Bukan di samudera Atlantik dan Eropa yang kita kenal sekarang..
Adapun Prof. Arysio Santos sendiri tergerak meneliti tentang ungkapan Plato mengenai Moloku (Maluku), daerah asal rempah- rempah dan negeri para raja itu mitos ataukah fakta, yang diungkapkan Plato 450 tahun sebelum Isa Almasih dari Nazareth lahir, dan menemukan Sundaland sebagai Atlantis yang hilang yang menurutnya berada di nusantara kita dimana manusia Papua adalah pemilik awalnya.
Alangkah naif jika dalam era kemajuan info-tech dan bio-tech yang semakin sophisticated, justeru kita berlaku sebaliknya, semakin tak beradab sebagaimana pesan para the founding fathers kita, karena kemerdekaan sesungguhnya adalah jalan menuju bangsa beradab (civilized nation), bukan sebaliknya, karena tindakan rasisme adalah anti kemerdekaan (liberte), tidak milihat sesama kita dalam perspektif equalite dan fraternite
.Save Papua means Save Indonesia, Save Bhinneka Tunggal Ika.(hm)
Penulis: Anggota DPR RI FPG 2014-2019