Harimanado.com– Watak dan tabiat partai politik (parpol) makin terang benderang.
Lihat saja apa yang dilakonkan akhir-akhir ini.
Nyaris energi elit-elit parpol terkuras habis sekedar berebut siapa mendapat apa.
Ada parpol yang jagoannya kalah di Pilpres namun tanpa malu minta jatah kursi kabinet 45 persen.
Meski kalah,
namun ada juga parpol memaksakan menitipkan program dengan alasan tukar menukar konsep lalu kemudian menawarkan kadernya untuk melaksanakan program itu. Kalimat ini adalah bentuk bahasa halus yang sesungguhnya bermakna mengemis jabatan. Bahkan bagi elit parpol ini, jika tawaran itu tidak diterima maka Mereka mengancam akan menjadi bagian dalam oposisi.
Jabatan Ketua MPR diperebutkan oleh parpol-parpol yang duluhnya bersekutu dan entah mengapa baru kali ini jabatan Jaksa Agung diperebutkan.
Presiden terpilih pada pemilu 2019 belum juga dilantik, tapi sudah ada parpol yang mendeklarasikan calon Presiden pada pemilu 2024. Koar-koar parpol pada kampanye bahwa jika rakyat memilih mereka, maka dedikasinya untuk rakyat ternyata hanya jualan bahkan bualan. Jawaban tentang siapa parpol dan bagaimana tabiatnya itu datang lebih cepat. Hal yang tak bisa dipahami adalah kemungkinan partai Gerindra dan PAN berkeinginan masuk d jajaran kabinet. Kedua parpol ini mengusung Prabowo Subianto sebagai calon Presiden, namun kalah.
Kita lupakan cara-cara tim sukses untuk mendapatkan dukungan. Mulai dari menghasut, mengadu domba, memprovokasi, mempolitisasi proses hukum para kriminal dengan istilah kriminalisasi tokoh agama, tuduhan PKI, Hoax, negara khilafah, dan penyebutan kafir bagi lawan politik. Wacana gerakan people power, meski gagal namun tetap menelan korban jiwa. Masyarakat diadu dan terbentuk polarisasi yang tajam. Namun pada 17 April 2019, sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, rakyat jualah yang menentukan siapa pemenang sebenarnya.
Calon Presiden yang dipilih secara mayoritas, berarti baik calon, program, parpol pendukung dan tim sukses itu dipercaya oleh pemilihnya, dan oleh UU, yang calon yang terpilih itu harus membentuk dan mengendalikan pemerintahan. Berarti pihak yang kalah, baik calon, program, parpol pendukung maupun tim suksesnya tidak dikehendaki oleh sebagian besar pemilih sehingga sebuah ironi jika pihak yang kalah memaksakan diri masuk pemerintahan.
Jika ini terjadi, maka ini bentuk penghianatan terhadap kedaulatan rakyat. Dan tindakan ini menjadikan Pemilu tidak memberikan manfaat apapun bagi pemilihnya.
Joko Widodo, calon presiden terpilih tentu sangat di untungkan jika akhirnya dua parpol yang tidak mendukungnya masuk kabinet. Artinya selama 5 tahun memimpin, potensi gangguan DPR atas kebijakan-kebijakannya akan kecil. Semakin banyak jumlah parpol masuk kabinet, maka wakil-wakilnya di DPR tidak akan ada lagi yang mengoreksi apa yang dikehendaki Presiden. Berarti Joko Widodo hendak masuk dalam zona nyaman.
Jumlah parpol yang berkoalisi terlalu gemuk, akhirnya tidak akan memberikan makna apapun.
Namun demikian, jika ini memang tidak bisa dihindari maka yang mungkin bisa terjadi adalah melemahnya pengakuan publik terhadap sosok Joko Widodo yang dikenal lebih berpihak pada wong cilik. Namanya tetap tercatat bahwa pernah sebagai Presiden, namun dedikasinya tidak bertahan menjadi sebuah sejarah.
Sebab ternyata lebih mementingkan kekuasaannya aman, ketimbang menghargai suara pemilih yang tidak memilih lawan politiknya.