Indonesia, KALAHNYA Akal SEHAT?

Catatan

Dr Syaiful B Rurai

Bacaan Lainnya

Harimanado.com. Sejak Jumat kemarin pagi 27 September 2019, sekira pukul 05.30, saya berkoordinasi dengan ‘Desk Papua’ BAPPENAS, Dr.Velix Wanggai,MA dkk.

Tujuannya untuk merekonfirmasi situasi dan kondisi terakhir keamanan di Wamena, Papua. Karena saya dan mantan Kapolda Sulut Irjen Pol Purn.Jacky Ulin, beliau juga adalah alumni UNSRAT.

Segera kita berkoordinasi dengan Kompolnas dan Kapolda Papua. Data masuk laporan jumlah korban dari Wakapolda Papua dan menyebut angka serta asal etnis, untuk identifikasi motif dll.

Saya juga dikirimkan situasi persidangan di Majelis Umum PBB, dimana ponakan perempuan Dr.Velix Wanggai, ikut dalam delegasi RI yang dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla. Anggota delegasi RI ini ada beberapa tokoh senior Papua.

Di forum yang sama pimpinan perlawanan Papua diluar negeri Benny Wenda, juga ikut ke New York sebagai anggota delegasi Vanuatu.

Namun Benny Wenda ditolak masuk ke ruang meeting utama Majelis Umum karena kursi yang terbatas.

Padahal ada kurang lebih 100 agenda meeting direncanakan.

Lalu pagi subuh tadi saya juga membaca tulisan Syahganda Nainggolan tentang pembantaian etnis di Wamena.

Jelas dari koordinasi kemarin subuh, Kapolri merespon cepat dengan mencopot Kapolda Papua dan Istana Presidenpun melakukan rapat tertutup dengan agenda Papua.

Dalam benak saya, Indonesia tengah diserbu kepentingan proxy yang sedemikian sistematis dan terstruktur secara massif pula.

Indonesia bagian barat dan tengah, yakni Sumatera dan Kalimantan lagi dilanda ecosida karena karhutla (kebakaran hutan dan lahan).

Di ujung timur terjadi pembantaian bernuansa etnis seperti ungkap Syahganda Nainggolan, dan di bagian tengah (Sulteng) insiden penembakan dua martir mahasiswa Universitas Halu Uleo, Kendari, karena tembakan peluru aparat.

Dan dipusat kekuasaan Jakarta, juga massa anarkis menumpang demo mahasiswa, bahkan 2 hari kemudian demo masih berlanjut dan melibatkan para siswa STM untuk membuat situasi chaos di Jakarta.

Sementara substansi yang diprotes, menjadi tidak terlalu signifikan lagi. Karena mereka tidak pernah menyentuh, apalagi membaca dengan cermat, bahkan tidak tahu apa yang menjadi tujuan demo anarkisnya. Konklusi dininya, Indonesia sedang diporak porandakan.

Padahal pada Senin 25 September 2019, di Kafe Kofi-Shaad, malah merespon demo dengan sebuah forum diskusi serius sambil ngopi.

Dan saya mengirim seluruh materi mulai dari rancangan RKUHP dan revisi UU KPK, materi sidang, juga pasal2 yang kontroversi untuk bahan diskusi.

Sayangnya ada juga sedikit insiden di DPRD Sulut. Walau tidak separah di Jakarta dan Kendari. Kemudian dua lalu, teman2 Manado dan Palu, mengajak diskusi, bahkan tele-conference, namuna belum sempat.

Masih tentang pasal kontroversi dimana saya sedikit membeberkan platform teoritik yang menjadi alas pikir rancangan undang-undang tersebut. Juga kepada meneer Dr.Rahman Conoras, saya sampaikan kegelisahan dua orang pinisepuh penyusun undang undang Prof.Muladi dan Prof.Barda Nawawi Arief yang sangat dalam.

Mereka berdua, terlibat sejak usia muda dalam menyusun UU nasional, sejak 1968, agar hukum kita bisa terlepas dari nuansa kuatnya kolonialisme yang telah kita gunakan selama 103 tahun.

Juga saya menyertakan percakapan Prof.Romli Atmasasmita, sebagai seorang mastermind yang menyusun UU KPK 17 tahun silam. Saya jadi teringat sepotong kalimat dari Prof.Agustine. Kakauhe-Tusaoh, SH, ‘tiada sesuatu yang abadi terkecuali perubahan itu sendiri.’

Untungnya saja sejak di Unsrat, kita para mahasiswa sudah diperkenalkan dengan berbagai pemikir dunia.

Dari situ pula, mahasiswa dituntut untuk membaca ”The Great Political Thinkers, from Plato to the Present” sebuah magnum opus karya William Ebenstein, yang menjadi buku wajib ilmu filsafat yang diajarkan Prof.Mr. GMA.Inkriwang.

Tidak mengherankan profesor senior dan mantan rektor ini adalah lulusan Leiden, Belanda, 1927 dan seorsng pentolan Permesta yang sempat menjabat menteri dalam kabinet Permesta.

Melalui beliau juga kita mengenal Gaetano Mosca tentang “The Rulling Class.” Pad zaman saja, mahasiswa yang menguasai dua kitab klasik tersebut, dianggap nyaris telah sarjana deh.

Adapun di Wamena dan publik, tergerak anarkis karena cenderung percaya medsos dan meme yang menyesatkan akal sehat kita. Dan terjadilah krisis bangsa ini, karena hoax.

Dalam hati saya, untung dua atau 3 bulan lalu, saya telah mengirim referensi tentang hoax kepada para aktivis, teman saya di Manado.

Kurang lebih 5 atau 6 buku terbaru tentang manipulasi informasi dan hoax yang tengah melanda dunia, seiring era IT dewasa ini.

Pantas saja Yuval Noah Harari mengatakan abad 21 ini akan lahir agama baru yakni info-tech dan bio-tech.

Agama ini tidak lagi berbasis kitab suci, namun laboratorium sains. Sayangnya realitas terakhir kita yang semakin anarkis, jelas jauh dari makna sains.

Pertanda kita menjadi gagal menjadi Homo Deus, ataukah menuju negara gagal sebagaimana dikatakan Daron Acemoglu dan James A.Robinson dalam bukunya “Mengapa Negara Gagal.”

Situasi Wamena dan Jakarta, juga Kendari, seakan mengingatkan kita bahkan betapa sulitnya meluruskan logika jika telah dipelintir dan diolah sana-sini melalui opini publik.

Kita menjadi susah membedah dimana kebenaran, antara fakta atau fiksi.
Sayapun jadi ingat pada sebuah buku tua, dipinjamkan Bunda Dra.Harasa Alitu-Pakaya (Prof), kepada saya, berjudul “Pengantar Logika, Ilmu Berpikir”..untuk dijadikan referensi saat memberi materi kepada Basic Training di Manado.

Karena saya diminta memberikan materi tentang pengantar logika. Maka saya menghadap ke rumah Bunda Harasa Pakaya, seorang dosen senior pada IKIP Manado, berdiskusi dan meminta pendapat.

Lalu beliau memberi buku tersebut untuk dijadikan referensi. Mungkin buku tua tsb, masih relevan dan signifikan untuk meneropong apa yang terjadi hari ini.
Jelas, Indonesia kita lagi dihadang akal sehatnya.
Wallahu a’lam bis sawab.

Kafe Jarod, 28 September 2019.

Pos terkait