Lafran,Canvas Inisiatif dari Lukisan Harapan Sebuah Apresiasi dan Otokritik HMI

(Oleh Ali Ketua Umum HMI Cabang Manado)

RASA bangga tak bisa dilukiskan seluruh Keluarga Besar HMI setelah Film LAFRAN dirilis secara resmi 20 Juni 2024.

Bacaan Lainnya

Film biografi perjuangan dari Pendiri HMI Ayahanda Lafran Pane. Film yang ditayangkan secara prekuel di seluruh Provinsi/Kota Oleh MN kahmi tersebut, tentu semakin memantik rasa bangga dan haru atas perjuangan sang tokoh pendiri HMI.

Sekilas film ini mempertontonkan tidak hanya moment epik dari beridirinya Organisasi Mahasiswa Pertama dan salah satu dari yang terbesarsaat ini yakni Himpunan Mahasiswa Islam. Namun film tersebut tidak hanya menyisipkan Sebuah kebanggaan bagi kader Melainkan otokritik bagi HMI Saat ini.

Saya tentu mengikuti film ini secara baik, namun bukan sebagai penghafal setiap peristiwa di dalam scan film tersebut, atau tidak pula merasa tersentuh hanya karna sound bioskop yang begitu besar. Saya hanya ingin mengulas film ini sebagai sebuah apresiasi bagi kader, namun juga tamparan. Karna dalam sejarah tidak bisa dilihat hanya sebatas cerita dan kisah romantikal biasa. Secara metodologi sejarah misalnya,

Film lafran di pandang dari sudut pandang Analisis historis, tentu telah di uji secara heuristik walaupun sepanjang pemutaran film tidak secara keseluruhan menjalaskan detail berdasarkan literatur, begitupula dalam tontonan film-film lainnya yang diangkat dari novel atau cerita-cerita rakyat.

Lafran Pane di dalam film secara sosiologis menghadirkan banyak tentang prasangka, ideologi dan kesalahpahaman dari waktu dan tempat tertentu.Lantas apa yang dapat kita pelajari tentang kondisi sosial di waktu dan tempat tertentu dari film ?

Mengapa kondisi sosial di gambarkan dalam film lafran berbeda dari kondisi saat ini ? Ada beberapa naratif yang di sajikan dalam film tentang perdebatan antar kedua kelompok yang memiliki latar belakang pemahaman berbeda dalam menjalankan negara baik itu nasionalis & agamis.

Dari kedua perdebatan tersebut mengisyaratkan sebuah perenungan Bagi seorang lafran yang tidak secara cepat memihak di antar salah satu pihak, namun mengingkan bahwa sejatinya Islam tidak hanya lahir untuk tetap berdiri diatas sejadah, Islam punya andil dalam melihat konteks kekiniaan dalam berbangsa, dan islam tidak hanya sesempit yang dari keduanya perdebatkan.

Pandangan Sosiologis

Film Lafran baiknya tidak hanya dilihat dari seorang lafran-nya, namun perlu pula dilihat kondisi sosial keumatan disaat itu (1945-1446). Karna bagi saya film lafran menyajikan kondisi ketimpangan sosioagamis dari prakemerdekaan hingga pasca kemerdekaan. Sejak era pra kemerdekaan kita disajikan dengan melihat struktur sebagai lapisan yang penuh kontradiksi dan merupakan proses yang terus menerus sebagai perubahan dialektika.

Kondisi serupa seperti pandangan Karl Marx yang meyakini bahwa ketertindasan akan melahirkan masyarakat yang terus berjuang untuk mencapai suatu kedudukan tertentu. Revolusi untuk memperoleh perjuangan tersebut adalah dapat dicapai melalui sistesisi baru yang akhirnya tiada lain adalah pertentangan.

Sosok Lafran dalam melihat ketimpangan dan bias orientasi antar kelompok lah yang membentuk sebuah “Sintesis Baru” untuk mengokohkan makna kemerdekaan.

Terminologi Kemerdekaan yang berarti kebebasaan atas penjajahan bukan hanya bergeser secara fisik pasca kemerdekaan 1945.

Sebagai Apresiasi, Lafran membentuk Kemerdekaan yang ia yakini tidak hanya berarti terbebas dari penjajahan, baginya kemerdekaan adalah kebebasaan atas praktik kebudayaan yang tidak pada prinsip pengetahuan, namun mengisyratkan melalui pengetahuan bahwajalan kemerdekaan para intelektual, seseorang berhak mengilhami nasionalis, begitupula dengan agamis, selama kita masih meliliki cita dan cinta yang sama untuk negara.

Sebuah keyakinan yang mendasar atas kemerdekaan inilah yang membentuk spirit perjuangan baru, menjadi ikhtiar dan pelengkap Kemerdekaan bangsa indonesia, melalui Himpunan Mahasiswa Islam yang ia dirikan.

Pandangan Intelektualis

Sajian film lafran seolah penuh dengan rasa inisiatif dan sadar akan kondisi lingkungannya. Dalam beberapa kesempatan pula kita dipertontonkan dengan perdebatan kedua kelompok Agamis dan Nasionalis mengingatkan kita pada model gerakan intekeltual yang dikembangan oleh Antonio Gramski, bagi gramski Intelektual dibagi menjadi 2, yakni Intelektual Organik dan Tradisional.

Namun yang menarik adalah bahwa Lafran “Mungkin” pada saat itu memiliki kesadaran ideologis tentang kebutuhan Bangsa yang tidak hanya habis dalam rumpun perdebatan Agamis & Nasionalis.

Seperti Gramski, yang mengatakan  bahwa kaum intelektual adalah “wakil” dari kelompok dominan – yaitu para fungsionaris, yang menjalankan fungsi subaltern namun penting dalam pemerintahan politik dan hegemoni sosial.

Secara khusus, para intelektual organik adalah yang paling penting karena merekalah yang mengembangkan dan menyebarkan ideologi organik. Arti penting politis dari para intelektual ini juga terletak pada kenyataan bahwa, biasanya, para intelektual organik dari sebuah kelas yang progresif secara historis dan realistis akan mampu membangun “dominasi” mereka atas para intelektual dari kelas-kelas lain, dan karenanya akan mampu menciptakan sebuah “ sistem solidaritas” dipertahankan selama kelas progresif tetap “progresif.”

Terakhir, kaum intelektual organik sangat berperan dalam perjuangan kelas untuk hegemoni. “Salah satu karakteristik paling penting dari kelompok mana pun yang sedang berkembang menuju dominasi adalah perjuangannya untuk mengasimilasi dan menaklukkan kaum intelektual tradisional secara ‘ideologis’, namun asimilasi dan penaklukan mereka akan menjadi lebih cepat dan lebih efektif jika kelompok tersebut berhasil mengelaborasi secara simultan. intelektual organiknya sendiri.” 

Sekali lagi, ingatlah bahwa para intelektual tradisional dapat menjadi agen pendukung dalam upaya mendapatkan persetujuan “spontan” terhadap tatanan sosial. Dengan demikian, perjuangan untuk mengasimilasi kaum intelektual tradisional juga merupakan salah satu syarat penting bagi perjuangan hegemoni suatu kelas secara keseluruhan.

Secara khusus, perjuangan asimilasi kaum intelektual tradisional ini akan menjadi bagian dari ‘perang posisi’ yang telah dibahas pada bagian sebelumnyaantara kelompok agamis & nasionalis.

Dari Lafran tentu kita belajar bahwa kepekaan sosial tidak hanya sebatas sadar akan lingkungan, melainkan kebutuhan akan Ideologis, Solidaritas & Penyatuan cita-cita bersama. Karna baginya Kemerdekaan bukan hanya sebatas Memproklamirkan Kemerdekaan, melainkan menjaga Keutuhan, mempertahankan tanah air dan menghadirkan kesejahteraan lah yang merupakan cita-cita kemerdekaan sesungguhnya.

Sekali lagi, Lafran tidak Hanya Sejarah tentang perjuangan anak muda yang mendirikan Organisasi, Lafran adalah Kemerdekaan Sejak Hati.(•)

Salam..  

Pos terkait