Melihat Aktivitas Mantan Bupati Minahasa JWS
Mantan Bupati Minahasa Jantje W Sajouw satu di antara politisi matang. Setelah ‘gagal’ di kontestasi pemilu legislatif 2019, JWS sapaan akrab putra Tombulu ini, menyibukkan diri dengan kebiasaan sebagai anak petani.
Laporan: Livrando Kambey
SINAR matahari telah merangkak pelan di atas punggung bukit Desa Koka, Kecamatan Tombulu. Deretan pohon cengkih menghiasi hamparan tanah subur. Sejumlah pekerja lalu lalang dari kebun ke halaman rumah JWS.
Tak disangka di antara para pekerja, JWS termasuk di antaranya. Mantan kadis Diknas Minahasa ini ikut membantu menjemur cengkih di lahan belakang rumahnya pada Rabu (7/8), sekira pukul 09.30.
JWS panggilan akrabnya keluar memakai kous merah dan celana pendek usai ibadah pagi.
Secangkir kopi menemani bincang-bincang bersama mantan orang nomor satu di Minahasa itu. Usai berbincang pagi, JWS mengajak menuju perkebunan cengkih dengan melewati jalan terjal yang berbukit.
Sesampai di perkebunan, suami dari Olga Singkoh ini menunjukkan beberapa lahannya yang berencana dikembangkan. Sambil melihat-lihat pohon cengkih, JWS mengaku bahwa beginilah aktivitas sehari-harinya.
“Kami memang petani. Sejak kecil kami dibesarkan di lahan pertanian. Dan mumpung juga ada aset. Seperti kebun cengkih. Nah,itu yang sekarang saya rawat,” ungkap JWS sambil duduk di “sabua”.
Tak hanya mengurus kebun saja, kesibukan JWS juga tak lepas dari pelayanan sebagai Ketua Pria/Kaum Bapa.
“Selain itu juga aktivitas lebih ke pelayanan. Karena dipercayakan sebagai Penatua P/KB. Tapi 90 persen mengurus kebun. Apa lagi saat ini cengkih perlu perawatan. Kalau dibiarkan, itu gawat. Makanya tak boleh dibiarkan. Sebab, kebun itu harus bersih. Kalau dibiarkan akan mati semua. Makanya harus dirawat,” katanya.
Berbicara soal cengkih, banyak hal yang disampaikan JWS. Mulai dari perawatan sampai pada solusi untuk warga yang menghadapi harga cengkih saat ini.
“Persoalan sekarang, cosnya terlalu besar/berat. Biaya panen, penjemuran dan lainnya. Bila dihitung, orang panen sekarang 76-77 ribu, bisa saja hanya sisa 45 untuk ongkos, 55 untuk pemilik. Bisa juga setengah-setengah. Petani cengkih sekarang makin Sulit,” terangnya.
Idealnya, lanjut JWS, kalau hitung-hitungan kasar, 1 ton cengkih cosnya bisa sampai 35 juta. Jadi kalau bisa jual sampai 75 atau 77 ribu, berarti masih ada 45 ribu. Masalah sekarang buru, pemetik dan tangga. Apa lagi sekarang angin yang bisa juga mengganggu orang panen.
“Tapi walaupun begitu, bersyukur orang yang punya cengkih bisa menikmati,” ungkapnya.
Persoalan sekarang yang terjadi, dulunya di kampung-kamoung banyak cengkih. Sekarang, kata dia, tidak sebanyak dulu orang menjemur cengkih. Karena saat ini cengkih banyak tak dikuasasi petani.
“Tapi kebanyakan orang tertentu dan pemilik modal besar, cengkihnya mereka ambil. Petani tak bisa bertahan,” sesalnya.
Pemerintah, kata dia, harusnya campur tangan atau intervensi dalam hal pemeliharaan. Kalau selama ini hanya dengar bantuan pupuk padi dan jagung, kenapa tidak dengan berikan bantuan pupuk cengkih.
“Dengan keadaan sekarang, petani cengkih tak ada yang bisa bertahan. Paling, panen langsung jual mentah. Nah, kalau cengkih ingin kembali seperti dulu, sistemnya harus diubah. Harganya harus diintervensi pemerintah dan membantu petani cengkih dalam hal pupuk dan pemeliharaan penggerek batang. Apa yang dilakukan pada jagung dan padi, pemerintah juga harus lakukan di cengkih. Cengkih hanya banyak di beberapa daerah. Jadi baiknya ada kearifan dari pemerintah daerah,” jelasnya.
Orang Minahasa berpikir, yang penting tanam cengkih pohon semakin banyak, maka akan untung. Itu kata JWS, keliru.
“Harusnya cengkih idealnya 9×9 atau 10×10 meter 1 hektar, hasilnya akan bagus. Kalau jarak tanamnya dekat. Terlihat banyak buah, tapi dalamnya kosong. Dimana kena sinar matahari, itu yang jadi bagus. Kalau pohon di tenam berdiri sendiri, buahnya bagus dan banyak. Ongkos kepengurusan agak renda. Karena itu petani harus diedukasi lagi supaya kalau menanam cengkih, jaraknya harus diperhatikan. Kalau itu semua dilakukan saya yakin masa keemasan cengkih akan kembali lagi,” tuturnya.
Saat disinggung soal dirinya tak masuk struktur dalam kepengurusan PDI-P mantan Ketua DPC PDI-P Minahasa ini menjawab apa adanya.
“Biarlah jadi kenangan. Kalau meninggalkan sesuatu yang bagus. Soal dihargai atau tidak, itu urusan orang lain. Yang penting komitmen ketua partai sudah dibuktikan,” ungkapnya.
Dulu, kata dia, dari 7 jadi 11 dan saat ini 17 kursi PDI-P.
“Orang boleh bilang bukan saya. Silahkan. Tapi momentumnya saya ketua partai dan bupati. Dulu PDI-P di Minahasa hanya berapa persen. Ketika saya bupati, akhirnya masyarakat lihat program yang baik, Minahasa berubah karena dipimpin PDIP, ketika perubahan itu terjadi di zaman PDIP, maka masyarakat makin senang dengan PDIP,” paparnya.
Ketika dirinya tak dicalonkan, tentu masyarakat berpikir lain lagi.
“Saya tak akan berpikir mundur. Biarlah semua itu jadi kenangan ke depan. Paling tidak, saat jadi bupati dan ketua partai, saya pernah buat,” tutup JWS dengan wajah tersenyum. (un1)