Harimanado.Akhirnya saya menemukan pendapat yang cocok dengan pikiran saya:
pikiran DR Andi Irmanputra Sidin.
Ia ahli hukum tata negara. Dari logat bicaranya saja sudah ketahuan:
ia orang Makassar. Apalagi ada gelar Andi. Yang menjadi bagian depan
namanya.
Di Inggris saya menonton YouTube tentang beliau. Yang lagi bicara di
acara Indonesia Lawyer Club (ILC). Yang membahas aksi mahasiswa
menentang RUU KUHP.
Saya –seperti beliau– juga belum pernah membaca draft rancangan UU
KUHP. Ups, pernah. Dulu sekali. Zaman sebelum Prof Muladi menjadi
menteri kehakiman.
Tapi saya sudah lupa isinya. Saat itu saya masih wartawan junior di
Tempo. Karni Ilyas, ‘Ketua Umum ILC’ sudah jadi bintang di Tempo –di
bidang hukum.
Saya juga tidak tahu: apakah RUU yang pernah saya baca di zaman itu
sama dengan RUU di zaman ini.
Emosi saya sama dengan DR Andi Irmanputra: kita ingin segera punya
KUHP sendiri. Karni Ilyas juga begitu. Setiap kali bicara KUHP ia
selalu mengatakan itu. Dulu. Rasanya juga sampai sekarang.
Karni tergolong wartawan independen. Saya setuju dengan humornya.
Ketika Karni menanggapi anggapan ‘pers pun sudah berselingkuh dengan
kekuasaan’. Yang dilontarkan DR Andi Irmanputra.
“ILC tidak termasuk yang berselingkuh. Kalau dianggap kurang berani,
iya,” katanya.
Itu seperti mewakili diri saya juga. Untung ada pihak lain yang
mengisi ‘sudut-sudut kritis’ –seperti yang diucapkan Ketua BEM UIN
itu.
Kita semua setuju: KUHP peninggalan penjajah Belanda itu harus diganti.
Belanda sendiri sudah menggantinya berkali-kali. Kita belum. Belum ada
pemerintahan yang mampu memperbaruinya.
Baru sekarang ini bisa sampai tahap nyaris disahkan. Sayang ada pasal
pengganjal.
Di Belanda KUHP lama sudah diganti. Berkali-kali. Dengan yang baru
–yang lebih baik.
Jadi, di sini, bukan hanya soal mengganti. Tapi juga apakah lebih baik.
Maka pendapat saya juga sama: sahkan saja KUHP itu. Segera. Asal
–seperti kata DR Andi Irmanputra– cabut itu pasal kolonial baru.
“Negara ini tidak akan runtuh kalau pasal itu dicabut”.
Zaman saya jadi demonstran dulu pasal itu disebut ‘pasal karet’. Bisa
diolor ke mana-mana. Tergantung yang lagi berkuasa.
Pasal karet itu, menurut orang pemerintah sekarang, sudah dihilangkan
dari rancangan KUHP yang sekarang.
Tapi dari ILC itu saya jadi tahu: ternyata ada pasal baru. Hanya
bunyinya yang beda. Kalau dulu disebut pasal ‘menghina presiden’
sekarang menjadi pasal ‘menyerang kehormatan presiden’.
Di ILC itu Menteri Hukum dan HAM kelihatan ngotot: bahwa menyerang
kehormatan presiden harus dihukum. Alasannya banyak. Lihatlah ILC itu.
Alat menghina atau menyerangnya yang sama: kata-kata, tulisan, gambar,
karikatur dan seterusnya.
“Sahkan saja RUU KUHP ini sebagai UU. Tapi pasal menyerang presiden
itu dihilangkan,” kata DR Andi Irmanputra.
Di samping terpikat pada Ketua BEM UGM dan UIN Syarif Hidayatullah
saya juga terpikat dengan DR Andi Irmanputra ini.
Cara bertuturnya jernih, jelas, dan tanpa emosi. Sudut yang ia lihat
juga menunjukkan kejeliannya. Tidak muter-muter. Telak.
DR Irmanputra menjadi bintang di ILC malam itu. Ia memang pintar sejak
dari sononya. Lihatlah saat ia maju ujian gelar doktor di Universitas
Hasanuddin.
Di bidang hukum tata negara. Nilai IPK-nya 4. Sempurna. Lulus summa cum laude.
Ketika beliau menyebut putusan mahkamah konstitusi, terlihat
kejeliannya. Bukan hanya mengutip putusannya tapi juga kalimat
antisipasi dalam putusan itu.
Saya baru tahu: MK ternyata sudah menduga. Bahwa suatu saat nanti akan
ada yang menghidupkan pasal karet. Dari karet gelang ke karet ketapel.
Maka jelas sekali: kalau benar RUU ini sudah dibahas mendetil mengapa
muncul rancangan pasal seperti itu. Apakah di antara yang membahas
tidak ada yang tahu ada putusan Mahkamah Konstitusi seperti itu?
Atau murni karena kesusu?
Saya juga kagum pada karakter DR Andi Irmanputra. Yang di awal bicara
sudah mengaku terus terang: “Saya juga belum membaca RUU KUHP ini,”
katanya.
Ia tidak malu mengatakan itu. Seperti ingin mengangkat derajat
mahasiswa yang lagi di-down-kan.
Tapi Dr Andi Irmanputra menyelipkan ‘humor tinggi’ sebagai alasannya:
“Saya tidak membacanya, takut ikut menolak RUU itu”.
Tapi saya yakin: beliau pura-pura saja tidak membaca. Atau, memang
belum membaca akibat kesibukannya sebagai pengacara.
Meski mengkhususkan diri sebagai pengacara di bidang tata negara tapi
kliennya banyak.
Orang-orang yang kesulitan izin pemerintah adalah kliennya. Pak JK,
Wapres, adalah juga salah satu yang pernah dibelanya.
Yakni saat Pak JK menjadi ‘pihak terkait’ dengan gugatan di MK.
Tentang tafsir ‘dua kali berturut-turut’ masa jabatan Wapres.
Pak JK menang.
Ia juga menjadi pengacara Sultan Jogja, Hamengkubuwono X. Yang
menghadapi persoalan pelik: tidak memiliki anak laki-laki –yang akan
jadi penerus tahta Jogja.
Sultan menang: Anak perempuannya tetap bisa menjadi pewaris tahta.
Tapi Dr Andi Irmanputra gagal menjadi pengacara Prabowo-Sandi. Yang
awalnya hampir pasti beliaulah yang akan tampil. Bersama pengacara
Otto Hasibuan. Yakni saat Prabowo-Sandi akan menggugat ke MK. Untuk
mempersoalkan hasil pemilu yang lalu.
Saya ikut beliau: ingin sekali RUU KUHP itu disahkan. Segera. Dengan
syarat: cabut pasal karet itu.
Mencabut pasal itu tidak perlu banyak prosedur perbaikan kalimat.
Tinggal cabut saja.
Tapi tulisan ini pun sudah telat. Masa jabatan DPR sekarang sudah
habis kemarin.(Dahlan Iskan)