KOALISI DAN FATSOEN POLITIK

Catatan 

Dinamika politik pasca pemilihan Presiden dan Wakil Presiden belum juga berujung.

Bacaan Lainnya

Meski secara resmi calon Presiden dan wakil Presiden terpilih baru akan dilantik 20 Oktober mendatang namun perdebatan seputar jatah menteri makin menghangat terutama bagi partai politik (parpol) pendukung calon terpilih.

Perdebatan tak hanya sebatas pada soal jatah, tetapi juga soal wacana keterlibatan parpol bukan pendukung capres terpilih dalam jajaran kabinet.

Perdebatan yang mempersoalkan peluang kaum profesional untuk mendominasi jumlah kabinet seolah-olah hampa, kalah jauh dengan perdebatan siapa mendapat apa, siapa mendapat berapa dan siapa yang tidak berkeringat mendapat apa.

Perdebatan pengisian kabinet menjadi heboh karena ada 3 pihak memiliki berkepentingan yang masing-masing pihak beda kepentingan.

Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) tentu memiliki kepentingan bahwa pada saat menjabat menghendaki tidak ada satupun yang hendak menentang kebijakan-kebijakannya.

Cara yang paling aman adalah menampung sebanyak-banyaknya  kekuatan-kekuatan politik dalam jajaran kabinet termasuk parpol yang tidak mendukungnya pada saat Pilpres lalu.

Jika semua kekuatan politik berhasil ditampung di kabinet secara otomatis kekuatan politik di parlemen akan seragam mendukung kebijakannya.

Bagaikan pemimpin orkestra, Joko Widodo mengharapkan alunan musik kelompok musisi kompak, kedengaran indah dan memikat hati pendengar.

Jika untuk kepentingan bersama, cara ini tidak keliru.  Selain Jokowi, pihak lain yang berkepentingan adalah parpol pendukung Jokowi.

Kepentingannya adalah memasukan sebanyak-banyaknya kader parpol dalam kabinet sebagai tuntutan kompensasi atas dukungan saat Pilpres.

Walaupun tak ada satu parpolpun yang mampu membuktikan bahwa kader-kader suatu parpol adalah benar-benar mendukung Jokowi pada pemungutan suara 17 April lalu.

Sejumlah lembaga survei memang pernah membuat pemetaan perihal dukungan anggota parpol terhadap masing-masing capres. Namun demikian, hasil itu gampang dibantah.

Alasanya, pertama hampir semua parpol tidak memiliki data base secara akurat tentang keanggotaan parpol. Sehingga amat sulit bagi suatu parpol mengkalim keanggotannya dalam memilih.

Parpol yang bisa mengkalim pendukungnya kemungkinan hanya PKB ataupun PAN. Meski tidak semua warga NU adalah kader PKB, namun pemilih parpol ini sebagian besar  pemilih dari kalangan NU.

Hal yang sama juga bagi warga Muhamadiaya yang tidak secara otomatis menjadi anggota PAN.

Namun kebanyakan pemilih PAN identik dengan pemilih kalangan Muhammadiyah. Korelasi ini pun terbentuk karena faktor latar belakang elit-elit parpol dan calon legislatif (caleg).

Caleg dari PKB adalah mayoritas dari NU, sehingga anggotanya mengikuti. Begitu juga dengan PAN. Apalagi kecenderungan pemilih kerap terikat pada hubungan emosioal, yakni pilihan selalu berkaitan dengan kesamaan agama atau ke kekerbatan.

Bagaimana dengan parpol lain, tentu amat sulit mengklaim siapa saja anggotanya. Kemudian jika benar anggotanya memang ada, maka pembuktian selanjutnya adalah apakah anggotanya itu memilih Jokowi atau tidak.

Satu-satunya perjuangan yang bisa diklaim bahwa parpol itu memberikan sumbangan jumlah kursi sebagai syarat pencaloan Joko Widodo dan Mar’uf Amin. UU Pemilu mensyaratkan bahwa pencaloan harus didukung 20 persen kursi di DPR.

Jika mengacu pada angka ini, PDIP sebetulnya hanya membutuhkan satu parpol pemilik kursi di DPR untuk mencukupi syarat itu.

Namun, mengapa saat itu PDIP membuka ruang bagi parpol manapun. Tentu PDIP perlu kawan untuk menjaga serangan-serangan pihak lawan saat berkompetisi, apalagi lawan tanding dan pendukung-pendukungnya bukanlah lawan biasa.

Ketiga, pihak yang tak kalah berkepentingan dalam pembentukan kabinet yakni para pendukung,  si yang empunya suara. Salah satu faktor yang membentuk sikap politik pemilih yang memilih Jokowi bisa jadi karena tidak sepaham dengan doktrin-doktrin atau strategi pemenangan parpol pendukung Prabowo.

Permainan sepak bola yang kasar kerap melahirkan rasa tidak simpatik sehingga mengalihkan dukungan pada pihak lain.

Gerakan people power yang dikumandangkan tokoh PAN Amien Rais dan Eggi Sudjana bisa jadi mengalihkan pilihan pemilih yang sebelumnya masih pemilih bimbang  atau swing voters menjadi pemilih Jokowi.

Berita bohong telah tercoblosnya surat suara 7 kontainer yang dilakukan salah satu kader Partai Demokrat membuat  sebagian pemilih resah.

Hal yang paling dibanggakan publik atas pembawaan Susilo Bambang Yudhoyono adalah kesopanan dalam bertutur.

Saking takut salah, dalam komunikasi apapun selalu menggunakan teks. Namun kesopanan itu akan beranjak manakalah Demokrat tidak menahan diri untuk bergabung dalam kabinet. Hal yang sama juga bagi PAN sendiri.

Dalam dinamika bernegara perlu menjunjung tinggi kesopanan atau fatsoen politik. Kini, publik menuntut keadilan Jokowi, sebab bisa jadi Jokowi dipilih karena tidak senang  dengan “permainan” kontestan yang lain.

Lantas apa pertanggungjawabannya  jika akhirnya Jokowi mengajak mereka dalam kabinet. Apapun kepentingannya semua parpol kini sedang berlomba-lomba mengejar jatah.

Kader yang diutus parpol dalam jajaran kabinet memang sangat strategis dalam menjaga keutuhan parpol.

Selama ini kader yang diutus di kabinet ternyata bukan sebagai alat parpol untuk memperjuangkan kepentingan idiologi apalagi untuk kemakmuran rakyat.

Tertangkapnya Romahurmuziy, Ketua Umum DPP PPP periode 2014-2019 oleh KPK membuktikan secara terang benderang.

Menteri dari kader parpol kerap hanya dimanfaatkan elit parpol untuk mendapat keuntungan pribadi.

Peristiwa yang menimpah Romahurmuziy hanyalah bentuk kesialan saja. Sebab nyaris semua menteri dari kader parpol diperlakukan hal yang sama.

Semakin banyak kader parpol di kementerian, maka semakin sejahtera dan makmur pula para elit di parpol itu. Lalu apa untungnya jika kabinet disesaki orang-orang parpol.

Pos terkait