Pelantikan E2L-Mantap Bisa Diambil Alih Kemendagri, Ini Kesimpulan Aksi Damai di Jakarta

 

Harimanado.com, JAKARTA — Masyarakat Kabupaten Kepulauan Talaud, hingga kini masih bergejolak. Mereka menuntut pasangan Elly Engelbert Lasut dan Moktar Arunde Parapaga alias (E2L-Mantap) segera dilantik sebagai Bupati dan Wabup Kabupaten Talaud periode 2019-2024.

Bacaan Lainnya

Gerakan unjuk rasa damai bukan hanya terjadi di Kabupaten Kepulauan Talaud, Kamis (1/8/2019) kemarin. Namun juga bersamaan terjadi di Kantor Depnagri, Jalan Merdeka Barat Jakarta. Bahkan, sebelumnya masyarakat Talaud sudah menduduki Kantor Gubernur Sulawesi Utara di Manado. Informasi yang dirangkum, pelantikan E2L-Mantap tinggal menunggu waktu.

Salah satu negosiator dalam unjuk rasa di Jakarta, DR Maxi Egeten SIP MSi, Dosen politik Fakultas Ilmu Politik (Fisip) Universitas Samratulangi (Unsrat) Manado. Dalam konfirmasinya, dia membeberkan hasil dialog dengan Dirjen Otda beserta jajarannya memberi penegasan kembali bahwa pelantikan Bupati dan Wakil Bupati terpilih Kabupaten Talaud adalah sebuah keniscayaan dan akan dilaksanakan sebagaimana prosedur perundang undangan yang berlaku.

“Tuntutan kami adalah secepatnya pelantikan itu dilaksanakan. Ini sebagaimana tuntutan pendemo untuk segera melakukan pelantikan ditanggapi positif oleh Mendagri melalui Dirjen. Tinggal mereka akan menyurat kedua kalinya dan kalau tdk maka pelantikan itu akan diambil alih oleh Kemendagri sebagaimana UU,” ujar Maxi, Minggu (4/8/2019).

Dia menjelaskan bahwa diskursus tentang pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Talaud, Provinsi Sulut dimana Gubernur tidak mau melakukannya karena berasumsi ada persoalan masa lalu dr Elly Lasut tentang jabatan Bupati yang dituduhkan sudah 2 periode. Menurutnya, ini sesungguhnya merupakan kekeliruan dan penyimpangan terhadap aturan perundang-undangan juga merusak proses demokrasi lokal. Bahkan Gubernur melalui Karo Pemerintahan mengembalikan dokumen yang berisi SK pelantikan dan lain-lain, dgn alasan tidak sesuai harapan mereka. Dalam konteks ini, gubernur keliru memaknai permasalahan 2 periode jabatan bupati karena faktanya tidak demikian. Bahkan KPU dengan diawasi Panwaslu telah melakukan verifikasi faktual sampai ke Depdagri dan menyatakan tidak ada masalah.

“Kan hasil keputusan MK juga menyatakan demikian. Ketika Gubernur masuk pada tataran ini dengan meminta Fatwa MA tentu sangat tidak relevan karena tahapan pencalonan sudah lewat. Disamping itu, gubernur telah jauh memasuki domain lembaga lain yang nota bene bukan kewenangannya,” pungkas Dosen Pasca Unsrat.

Dia menegaskan, dengan keputusannya ini, gubernur menampilkan gaya kepemimpinan otoriter. Dimana terjadi pemaksaan kehendak meskipun menabrak aturan dan etika pemerintahan. Gubernur lupa bahwa Pilkada merupakan proses demokratisasi yang menjadi momentum strategis untuk mengembalikan kedaulatan rakyat. Perspektif kedaulatan rakyat (The soveregnty of the people) berpandangan bahwa sebuah kekuasaan berasal dari rakyat. Apa yang dilakukan gubernur saat ini dapat menimbulkan kegaduhan yang bisa mengganggu stabilitas politik di Talaud. Dimana daerah ini merupakan wilayah perbatasan yang memiliki isu strategis ditingkat nasional maupun internasional.

“Gubernur harusnya berkewajiban menjaga stabilitas politik daerah karena hal itu menjadi salah satu fungsinya sebagai kepala daerah. Dan seharusnya juga gubernur meninggal sebuah legacy (warisan) politik yang baik sebagai bahan edukasi bagi masyarakat Sulut,” harapnya.

Dia juga menuturkan bahwa berpijak pada argumentasi yang sudah dikemukakan, maka pihaknya meminta sebaiknya tahapan pelantikan harus dilakukan. Kewenangan pelantikan sebagaimana aturan UU Nomor 10 Tahun 2016 dan aturan lainnya berada ditangan Gubernur.

“Jadi kalau tidak mau melaksanakannya, sesuai aturan UU ini juga menurut teori atribusi maka dilakukan oleh Mendagri. Sebagai contoh di Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra),” bebernya.

Dia menambahkan, Dirjen sependapat dengan argumentasi yang disuarakan pihaknya. Dimana Dirjen sepakat juga dengan Mendagri bahwa persoalan hukum sudah clear. Jadi kalau ada pandangan lain tentang prosedur administrasi sudah ketinggalan atau kadaluarsa. Apalagi pendapat para pejabat dari Pemprov Sulut itu keliru karena mereka bukan lemaga hukum dan domain Pilkada adalah pada lembaga KPU, Bawaslu dan DKPP.

“Kalau ada sengketa Pilkada maka itu juga ramah dari MK. Jadi gubernur juga mendagri pada tahapan pelantikan. Prinsipnya, gerakan kami ini hanya sebagai bahan edukasi politik bagi publik, bukan sebaliknya menyampaikan argumentasi yang keliru dan kurang berkualitas seperti bukan orng berpendidikan,” tutup mantan Komisioner Bawaslu ini.

Sementara peserta aksi damai lainnya, Paulus Pangau ST yang juga sebagai Pemimpin Ormas Sulut menegaskan bahwa DEPNAGRI ambil langka bijak dengan dikembalikan SK pelantikan dari Pemprov Sulut ke DEPNAGRI yang diduga mempunyai penafsiran hukum sendiri bertentangan dengan perintah UU RI yang mana sudah melewati tahapan KPU dan Bawaslu Sulut.

“Aksi damai kemarin itu, hanya meminta kepastian hukum atas Keputusan MK dan hasil pleno KPU Talaud atas pasangan E2L-Mantap yang berakhir tangga 21 Juli 2019 berakhir masa waktu bupati sebelumnya. Semuan untuk menjaga stabilitas daerah dan masyarakat dikepulaan Talaud yang sekarang ini sedang mulai timbul kekecewaan atas keterlambatan Gubernur Sulut melantik bupati yang mereka pilih di Kabupaten Talaud,” ujar Pangau.

Sebelumnya Asisten 1 Edison Humiang menegaskan bahwa niat gubernur secepatnya melantik Elly Lasut dan Mochtar Parapaga. Namun demikian, gubernur harus menunggu masalah tuntas agar tidak menimbulkan masalah baru.

“Sebab itu langkah diambil gubernur meminta pendapat Kemendagri dan meminta fatwah Mahkamah Agung (MA),” terang Humiang, yang didampingi Karo Hukum Grubert Ughude dan Kabag Pemerintah Rolies Rondonuwu sambil menyampaikan terima-kasih atas kedatangan presidium. (art/but)

Pos terkait