Peserta Membludak, Penasaran Saksikan Adu Gagasan Anas Urbaningrum, Dua Doktor dan Bupati di Dialog Kebangsaan

MANADO- Ruangan persegi panjang di lantai 5 Hotel Aston Manado seperti mengecil. Kewalahan menampung lonjakan peserta dialog kebangsaan yang digagas HMI-Kahmi Sulut pada Rabu malam (23/08/2023).

Kapasitas 200 tempat duduk terasa kurang. Panitia harus menambah kursi sisi belakang di bagian selatan. Itupun tidak cukup. Peserta dari aktivis mahasiswa sampai pimpinan ormas masih berdatangan. Terpaksa anak anak HMI tambah kursi di sisi barat dan timur.

Bacaan Lainnya

Malam itu, mereka penasaran ingin mendengar orasi politik tokoh nasional Anas Urbaningrum.

Acara bertajuk Mengukuhkan Spirit Kebangsaan untuk Indonesia Berdaulat menghadirkan pembicara utama Ketua Umum PB HMI 1997 – 1999. Anas tidak sendirian. Dipanel dengan dua doctor politik, Dr Delmus Puneri Salim mantan rector IAIN Manado, akademisi Unima Dr Goinpeace Tumbel dan Bupati Bone Bolango Dr Hamim Pou.

Dari kiri: Dr Goinpeace Tumbel, Dr Delmus P Salim, Anas Urbaningrum, Hamim Pou dan moderatir Radinal Muhdar di Aston Hotel Manado

Setelah dibuka Korpres MW KAHMI Sulut Suardi Hamzah, dialog diawali dengan pantun bertepuk riang bersama moderator mantan ketua umum HMI Manado Radinal Muchtar.

Goinpeace yang dikenal ketua umum GMKI Manado 1994-1996 mengawali dirskursus dengan sejarah keIndonesiaan dan kebangsaan. Goinpeace menyentil bahwa spirit kebangsaan telah ada di dalam nadi para aktivis Cipayung (HMI GMNI GMKI PMII dan PMKRI) plus IMM. Dia mengawali dari sejarah kemerdekaan yang melahirkan bentuk pemerintahan negara persatuan. Goinpeace menyentil system pemerintahan presidensial dengan ideologi Pancasila sudah tepat. Meski dalam praktek, system pemerintahan seperti dua model. Kadang pakai presidensial, tapi kadang pakai parlementer.

Pemantik kedua Dr Delmus, mendeskripsikan kemajemukan ideologi, suku dan agama sesuatu yang memperkaya  spirit kebangsaan. Kemajemukan itu tidak bisa mengusik ideologi Pancasila dalam bingkai NKRI.

Aktivis IMM ini juga menyentil sepatutnya memilih pemimpin harus pakai spirit kebangsaan. Tapi kata Delmus spirit kebangsaan dikalahkan spirit lebih kecil. Misalnya spirit komunal. Ketika ada pemimpin yang berkualitas, karena dari komunitas lebih kecil, terpaksa dikalahkan komunal lebih besar

“Komunal itu condong lebih kepada sentiment. Karena merasa mayoritas akhirnya memilih pemimpin bukan karena berkualitas,”sindir Delmus, sambil menyindir politisasi marga sedang terjadi di Sulut.

Bupati Hamim mengurai pengalaman sebagai bupati 13 tahun. Ada hal yang dia kritik terkait distribusi kewenangan pemerintahan. Sebagai bupati, kata Hamim, ruang kebijakan seperti dipressing pemerintah pusat. Politik anggaran juga tidak simetris. Mereka yang punya daerah, sumber pendapatan terbatas, namun anggaran dikelola kementerian.

“Lebih enak jadi gubernur. Kalau ada yang dikeluhkan, yang kena bupati atau wali kota. Kadang kadang kebijakan kita dikriminaliasi,”tandas wartawan senior.

Akhirnya pembicara terakhir yang ditunggu tampil. Anas  didesak untuk berdiri di atas podium.  Awal kalimat Anas meluncur tanpa emosi. Tonenya enak didengar. Tangan kanannya bergerak teratur.

“Ketiga pembicara mengeluarkan pandangan begitu hangat. Maka saya akan berbicara yang ringan ringan,”tutur Anas sambil tersenyum.

Yang pertama terkait perlawanan Pangeran Diponegoro dan Kiai Modjo abad ke 19 di Jogyakarta. Anas menyebut, VOC Belanda bangkrut gara gara perang yang panjang dan keluarkan biaya besar.

Ringan yang kedua, soal Jarod (Jalan Roda) di pusat kota. Anas menyebut Jarod sebagai tempat yang unik. Pusat peradaban semua komunitas. Masing masing bicara tentang isu yang berbeda. Yang dibahas masalah berat. Tanpa ada yang merasa terganggu Perpaduan semua komunitas, termasuk komunitas makelar jasa.

Anas juga menyentil spirit kebangsaan para tokoh pemuda dari berbagai suku pada tahun 1928 untuk bernaung di bawah bangsa bernama Indonesia. Sedikit banyak Anas mengupas sejarah lahir Pancasila di zaman BPUPKI hingga panitia 9. Yang akhirnya Pancasila yang diistilahkan Soekarno dirubah pada 18 Agustus 1945 seperti sekarang ini. Diganti dari kalimat Ketuhanan dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.(hm/bersambung)

Pos terkait