DEMOKRASI PANCASILA SAKTI?

Oleh:

Dr Ferry Liando

Bacaan Lainnya

Besok 1 Oktober 2019 seluruh elemen bangsa kembali akan memperingati hari Kesaktian Pancasila.

Sejarah menyebut bahwa peringatan ini berkaitan erat dengan peristiwa gerakan 30 September 1965 (G30S).

Hari itu 6 jenderal dibunuh. Motiv pembunuhan itu masih memunculkan banyak spekulasi. Apakah sebagai bentuk kudeta atau ada maksud lain.

Namun penguasa orde baru menyebut bahwa tindakan itu sebagai upaya para pemberontak menggantikan Pancasila dengan idiologi komunis.

Namun para pemberontak berhasil dilumpuhkan sehingga ditetapkanlah 1 Oktober sebagai hari kesaktian Pancasila.

Menjaga   Pancasila sebagai idiologi ternyata tidak gampang. Sejarah mencatat bahwa sejak dahulu, idiologi ini kerap diganggu, entah karena ingin menggantikan dengan idiologi baru atau karena ingin merongrong kekuasaan.

Kali ini Pancasila sedang berada dalam ujian berat. Bukan hendak menggantikan dengan idiologi baru, namun semangat

mengimplemetasikan Pancasila itu kini sedang dalam keadaan kritis. Pancasila bukan lagi sebatas pandangan hidup bernegara, namun kerap tercampakan oleh sebab kepentingan pribadi dan kelompok.

Tuhan bukan lagi sebagai relasi spiritual umat dengan sang pencipta, tetapi sebagai alat pembenar menyingkirkan pihak lain untuk memuluskan kepentingan kekuasaan.

Memandang seseorang itu sebagai manusia sebatas jika satu arah dengan kepentingannya, jika tidak maka baginya itu adalah musuh yang harus dimusnakan.

Kalau tidak maka segala cara bisa dilakukan untuk menyingkirkan bahkan memusnahkannya. Semangat persatuan tidak dipandang secara utuh, namun persatuan untuk memperkuat kelompok berdasarkan kesamaan aliran atau identitas kepentingan.

Kerakyatan tidak lagi dipimpin oleh orang-orang yang berhikamat, tetapi beralih pada orang-orang buas dan bernafsu dengan kekuasan.

KPK dilemahkan, agar tidak yang menghalangi mereka terus berkuasa dan merampok kekayaan negara. Keadilan sosial kini menjelma menjadi keadilan para penguasa atau keadilan para aktor-aktor yang bisa mengendalikan para penguasa. Ujian-ujian berat yang pernah dilewati,

ternyata tak ada satupun idiologi yang bisa mengantikan Pancasila. Bahaya terberat sesungguhnya terletak pada para elit-elit politik bangsa.

Kebesaran seorang pemimpin bukan diukur oleh janji politik yang menggiurkan, namun oleh sebuah keteladanan sebagai orang yang diikuti.

Demokrasi Pancasila selalu mengajarkan bahwa merebut dan mempertahankan kekuasaan sangat penting memanusiakan manusia.

Bukan menistakan manusia lain untuk sekedar kekuasaan semata. Proses berdemokrasi Kedepan, menjadi sebuah ujian apakah Pancasila itu masih tetap akan sakti atau malahan jatuh oleh karena tingkah para penguasa.(•)

Pos terkait