Serikat Pekerja PLN Tolak Power Wheeling, Benalu Dalam Transisi Energi Nasional

harimanado.com,MANADO- Power Wheeling, kini menjadi sorotan tajam dalam perdebatan kebijakan energi Indonesia. Skema yang telah lama dikenal dalam struktur liberalisasi pasar ketenagalistrikan yang menciptakan mekanisme Multi Buyer Multi Seller (MBMS) ini memungkinkan pihak swasta dan negara untuk menjual energi listrik di pasar terbuka atau langsung ke konsumen akhir.

Menurut Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) PLN, M.Abrar Ali, power wheeling terdiri dari dua jenis transaksi, yakni Wholesale Wheeling dan Retail Wheeling.

Bacaan Lainnya

Wholesale Wheeling terjadi ketika pembangkit listrik (baik milik swasta maupun negara) menjual energi listrik dalam jumlah besar ke perusahaan

“Kedua model ini menggunakan jaringan transmisi dan distribusi sebagai “jalan tol” dengan skema open access, di mana semua pembangkit listrik dapat menggunakannya dengan membayar “Toll Fee”,” kata Abrar dalam jumpa pers yang digelar SP PLN di kantor Pusat PLN, Jakarta, Jumat (06/9).

“Kami menyampaikan surat ke fraksi-fraksi di DPR-RI, kami juga menyampaikan surat kepada Ketua DPD-RI Bapak La Nyala Mataliti, karena beliau juga punya hak konstitusi. Dan ke Ditjen EBTKE kita sampaikan juga surat, termasuk juga ke Istana. Saya juga akan menyampaikan surat ke Menteri Pertahanan, cq Presiden Indonesia terpillih,” tegas Abrar.
Abrar Ali menegaskan bahwa pemerintah perlu menilai kembali kebijakan power wheeling untuk menghindari kerugian ekonomi jangka panjang dan memastikan stabilitas sektor energi nasional.

Labih jauh ia mengatakan, bahwa power wheeling juga dapat menggerus permintaan listrik organik hingga 30% dan permintaan non-organik dari pelanggan Konsumen Tegangan Tinggi (KTT) hingga 50%. Hal ini akan berujung pada lonjakan beban APBN karena biaya yang harus ditanggung negara.

“Setiap 1 GW pembangkit listrik yang masuk melalui skema power wheeling diperkirakan akan menambah beban biaya hingga Rp 3,44 triliun (biaya ToP + Backup cost), yang akan semakin memberatkan keuangan negara. Bahkan dampak akumulatif hingga 2030 diperkirakan akan meningkatkan beban Take or Pay (ToP) dari Rp 317 triliun menjadi Rp 429 triliun, atau terjadi kenaikan sebesar Rp 112 triliun,” paparnya.
Sementara dampak hukum yang ditimbulkan oleh power wheeling kontradiksi dengan UU No. 20 Tahun 2022. Di mana program ini merupakan implementasi dari skema MBMS yang melibatkan unbundling.

“Namun, hal ini bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2022 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004,” ucapnya.

Terkait Ketahanan Energi, lanjut Abrar, ketersediaan akses listrik akan terganggu dengan meningkatnya risiko blackout, sehingga jaminan pasokan listrik yang stabil semakin sulit dicapai.

“Hal ini dapat menghambat akses terhadap listrik yang andal bagi masyarakat,” ucap Abrar.(ham)

Pos terkait