Oleh: Katamsi Ginano
MAKLUMAT Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Provinsi Gorontalo yang dihelat meriah di Simpang Lima, Kota Gorontalo, Senin (4 Mei 2020), yang kemudian saya tulis di Harian Manado, Rabu,
6 Mei 2020, tak dinyana justru mengundang keramaian lain.
Namun, alih-alih fokus pada isu penanggulangan penyebaranCovid-19 dan perilaku masyarakat merespons PSBB, keriuhan yang menanggapi (sebagian bahkan mengecam dan menuntut permintaan maaf) tulisan saya justru terpaku pada hal remeh, urusan pijat-memijat, yang menjadi salah satu ‘’contoh kasus’’ yang saya angkat.
Saking pentingnya perihal perpijatan ini, seorang kandidat doktor sosiologi dari Universitas Negeri Gorontalo (UNG), perlu menulis ‘’kebudayaan pijat’’ masyarakat Gorontalo; lengkap dengan ‘’tuduhan’’ saya keliru dan karenanya harus meminta maaf.
Tadinya saya malas menanggapi tuan kandidat doktor itu, juga banyak suara kontra lainnya.
Saat menulis PSBB ‘’Hulodu’’, juga tulisan ini, tak pernah terlintas di benak saya mengaitkan pijat-memijat dengan aktivitas syur yang berkonotasisexual intercourses (atau yang menyerempet-nyerempet itu).
Bahwa kemudian tuan kandidat doktor dan mereka yang mendadak jadi pembenci saya mengasosiasikan kasus yang terkait dengan aktivitas pijat–yang saya jadikan salah satu alur logika memahami reaksi sedikit, sebagian kecil, atau bahkan banyak masyarakat (Gorontalo)—dengan tafsir ngeres, saya kira itu menunjukkan state of mind mereka.
Tapi, dengan demikian, betapa menyedihkan (juga memalukan)karena satu potensi masalah besar hanya diringkus dengan reaksi atas dasar pikiran yang tak jauh dari ranjang dan keringat mesum.
Ada dua aspek utama memahami penyebaran Covid-19.
Setidaknya demikian yang dapat disimpul dari ruang publikasi (ilmiah) tentang virus ini.
Pertama, penyebarannya melalui droplets (percikan ludah); dan dua, jangkauan drolets yang normal (percakapan dan sejenisnya) sangat terbatas, pukul rata 1-2 m saja (kecuali jika bersin sangat keras maka lontarannya bisa lebih jauh lagi).
Lalu, apa signifikansi pijat-memijat dalam soal mustahaknyapenanggulangan penyebaran Covid-19?
Aktivitas ini jelas kontak langsung yang sangat dekat. Kemudian, ada faktor(sekali lagi, maaf) perempuan yang menjadi pemijat, yang dalam proses terapi tentu tidak hanya diisi dengan pijat-memijat saja.
Ada percakapan, bual-bual, bahkan sekadarbasa-basi yang dilakukan dalam jarak kurang dari 1 m.
Logika saya berhenti hingga di situ. Saya bahkan tidak memasukkan faktor saat ini adalah Ramadhan; yang artinya piijat-memijat dilakukan malam hari saat mulut tak kering lagi setelah usai buka Puasa; dan aneka kemungkinan lain yang terkait (misalnya, berapa banyak anggota keluarga yang berkontak dengan sang pemijat).

Tidak pula saya berspekulas bahwa pemijatnya hanyalah tertular (yang sebelumnya berkontak dengan terduga sudah terpapar virus Corona) kemudian potensial menjadi carrier.
Jauh pula saya dari duga-duga bahwa pemijatnya berusia renta (yang justru sangatrentan terhadap Covid-19).
Yang saya ingatkan adalah, siapapun yang berada dalam lingkaran yang dipijat dan memijat, serta yang berkontak erat sebelum dan sesudah aktivitas itu dilakukan, potensial dan patut diduga mesti menjalani test Covid-19.
Di manakah pikiran sehat yang salah dari rangkaian logikau profesi ini di Gorontalo.
Jika pemilihan kata yang disoal, bagaimana kalau saya menulis, misalnya: Pepaya di dadanya yang kuning ranumsungguh mengundang selera?
Pikiran waras pasti langsung mengaitkan pada pepaya yang masak dan lezat; otak kotor boleh jadi mengkoneksikan dengan urusan syawat.
Saya sendiri, benar-benar hanya ingin menggambarkan pepaya yang baru saja dipetik seorang kawan dari halamanr umahnya.
Itu sebabnya, jika kemudian tuan kandidat doktor sosilogi yabt bergerak cepat menanggapi saya, lengkap dengan tuntutan permintaan maaf, memberi tausiah ‘’kebudayaanpijat’’ di masyarakat Gorontalo yang sungguh luhur; tidak akan saya perdebatkan.
Saya hanya mengingatkan, kebudayaan, tradisi, bahkan sekadar interaksi sosial keseharian, bukanlah batu yang statis dan sulit berubah.
Bahkan batu pun, jika terus-menerus dihajar hujan dan terik, lama-kelamaan melapuk; berlumut; atau bahkan retak dan terbelah.
Dinamika perubahan kebudayaan, tradisi, dan interaksi sosial, terlebih di dunia yang telah menjadi digital dan tanpa batas saat ini, punya kecepatan yang sulit dibayangkan oleh para jenius sekalipun.
Jadi, tuan kandidat doktor, sebaiknya Anda memang mesti melanjutkan tradisi baik seperti pembukaantulisan Anda: berpikir masak-masak terlebih dahulu, pahami substansi (tulisan) yang ingin dikritik, baru kemudianbereaksi. Jangan malah ereksi yang didahulukan.
Alangkah tak eloknya jika seorang kandidat doktor, pengajardi universitas, akhirnya hanya diasosiasikan setaraRantanplan. Siapa Rantanplan, kebudayaan pop global tahupersis tokoh ini. Masak seorang kandidat doktor sosiologimeluputkan dari perhatian?
Sebagai penyedap, mengingat sosialogi adalah ilmu yang mempelajari perilaku sosial antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok, sebagai bonus, saya sertakan dua tautan (dari media berbasisGorontalo): https://rgol.id/dolly-tutup-pindah-ke-gorontalo-salon-plus-plus-banyak-beroperasi/ dan https://hulondalo.id/tiga-salon-digerebek-polisi-amankan-sejumlah-pasangan-mesum/. Dengan tautan ini, sertapenjelasan di atas, saya yakin tuan kandidat doktor sosiologitentu dapat menjawab dengan baik siapa yang hulodu dalamsoal penanggulangan penyebaran Covid-19 dan PSBB di Gorontalo.
Menutup tulisan ini, saya mengingatkan kembali pada para seolah-olah hero yang naik darah akibat tulisan PSSB ‘’Hulodu’’: Jika PSBB, yang substansinya adalah pembatasanruang gerak dan lalu-lintas orang serta kendaraan, diumumkandi tengah kumpulan massa dengan mengabaikan semuaprotokol dasar penanggulangan Covid-19 (menggunakanmasker, menjaga jarak fisik, dan lain-lain), kira-kira adakahsatu kata—yang tepat secara antropologis, sosiologis, dan kultural setempat–yang mampu mewakili komentar kitaterhadap fakta ini, kecuali hulodu?
Masak harus pakai kata biongo? ***