Catatan
Dr Ferry D Liando

Joko Widodo dan Prabowo akhirnya bertemu pada Sabtu (13/07) lalu.
Suasana yang dinanti oleh sejumlah pihak itu akhirnya terwujud.
Pertemuan ini dianggap sebagai bentuk rekonsiliasi setelah keduanya berseteru pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) tahun ini.
Rekonsiliasi tak hanya sekedar untuk kepentingan umum namun sangat menguntungkan juga bagi kedua bela pihak.
Prabowo tentu sangat diuntungkan karena sikap bertemu bekas lawan politik merupakan jiwa kesatria atau kedewasaan. Tidak hanya mementingkan kepentingan diri sendiri, namun mendasarkan pada keuntungan umum yang diutamakan. Sifat-sifat ini banyak melekat pada sosok seorang negarawan.
Tentu dengan sikap ini, Prabowo tidak hanya menjadi teladan bagi pendukungnya, namun menumbuhkan rasa simpati dari pihak-pihak yang selama ini menolaknya.
Jika saja Prabowo tetap dalam pendiriannya, maka sikap ini sebuah modal elektoral jika akhirnya Prabowo harus tampil lagi pada Pilpres 2024.
Bagi Joko Widodo (Jokowi), pertemuan ini sangat menguntungkan karena memperkuat legitimasi politik atas hasil Pilpres pada waktu lalu. Sekitar 45 persen pemilih tidak menyatakan dukungan padanya.
Sampai kini belum semua pemilih menerima atas kemenangannya. Sebelum Prabowo bertemu Jokowi, ia dihadang oleh sejumlah relawan yang menolak diadakannya rekonsiliasi itu.
Namun pertemuan itu makin melegitimasi posisi Jokowi sebagai calon Presiden terpilih. Namun demikian rekonsiliasi diharapkan tak hanya sebatas menguntungkan kedua belah pihak.
Harusnya tak hanya elit yang bisa memonopoli rekonsiliasi itu. Sebab bisa jadi Jokowi dan Prabowo betul-betul telah berdamai, namun belum tentu jajaran yang mengitari keduanya ikutan berdamai.
Diantara mereka, ada yang terlanjur tersakiti yang mustahil jika terobati atau redam dalam sesaat.
Mereka lelah saling memusuhi dan dimusuhi. Mereka bahkan kehilangan kosa kata sebagai pengganti kata-kata makian dan fitnah dalam berbagai forum.
Mereka terlanjur di lebel oleh publik sebagai penyebar kebohongan, pengadu domba dan provokator.
Lantas ketika semua itu terlanjur dan akhirnya tidak mendapat apa-apa, maka sangat mustahil jika harus berpestapora dalam sekejap: rekonsiliasi. Untuk memastikan stabilitas politik, Perlu rekonsiliasi berlapis dan bertahap. Rekonsiliasi utama sudah diperankan Jokowi dan Prabowo.
Rekonsiliasi kedua perlu dilakukan para think thank, pembisik atau ring utama. Rekonsiliasi ketiga perlu dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan dan organisasi yang mengatasnamakan agama yang selama ini berhasil dimanfatkan elit-elit sebagai serdadu-serdadu perang baik dalam doktrin maupun mobilisasi. Rekonsiliasi keempat adalah kalangan grass root.
Selama ini masyarakat terpolarisasi pada dua gerbong yang berbeda. Toleransi yang dibangun berpuluh-puluh tahun oleh tokoh-tokoh bangsa sekejap menjadi arena kebencian dan hilangnya rasa hormat.
Tidak hanya kultur sosial yang tercabik-cabik namun struktur sosial makin mencekam dan memprihatinkan.
Rekonsiliasi elit, tidak bermakna jika tidak diikuti dengan rekonsiliasi sosial. Kedepan masih ada ancaman yang sewaktu-waktu bisa mengejutkan kita. Pilpres 2019, para kelompok radikal berhasil membentuk kekuatan baru.
Mereka berhasil mengkonsolidasikan diri begitu rapi. Salah satu kontestan Pilpres diperdaya dan berhasil dimanfaatkan untuk mengganggu keutuhan bangsa, berhasil sebagai penumpang gelap.
Tahun 2020, akan berlanjut kompetisi politik di aras lokal. Polarisasi belum juga redup, namun kompetisi baru segera datang. Kita berharap, kepolisian dan intelejen daerah sama profesionalnya dengan kepolisian ditingkat pusat.
Namun jika kesiagaan tidak dilakukan dengan cermat, bukan tidak mungkin konflik di daerah akan membarah. Apalagi penggunaan media sosial sebagai instrumen pemecah belah dan permusuhan masih begitu liar tanpa kendali.(*)