Narasi
Dr Syaiful Bahri Rurai (Anggota DPR RI 2014-2019)
MENJADI anggota DPRD-DPR RI seperti sesuatu yang wah dan istimewa setelah 20 tahun usia reformasi Indonesia
Demokrasi Indonesia begitu terbuka dan egaliter. Rekrutmen politik post Orde Baru, tidaklah sesulit masa lalu.
Dan hingar bingar pemilupun menjadi puncak dari pertarungan politik yang kian memakan ongkos yang tidak sedikit taruhannya.
Apalagi masyarakat yang akhir akhir ini cenderung terperangkap oleh “money politics” karena elite atau kandidat yang maju bertarung, tidak lagi terukur kualitas dan kapasitasnya.
Rezim kapotalisme politik (baca uang) lebih berbicara dan menentukan segala sesuatu. Disertasi teranyar Burhanudin Muhtadi menjelaskan panjang lebar tentang “Vote Buying in Indonesia”(The Mechanics of Electoral Bribery) pada Australian National University (ANU).
Bahkan politisi senior seperti Amin Rais, yang turut mendorong reformasi sedari awal, dalam sebuah wawancara, juga menyesal karena tak sempat memperhitungkan gejala “money politics” yang kian meraja lela.
Dan menjadi anggota DPR adalah simbol status. Bukan lagi sebagaimana awal sejarahnya Volksraad pada zaman baheula, era kolonial, yang punya Petisi Soetardjo, atau post kemerdekaan kita mengenal “Mosi Integral” M.Natsir di Konstituante.
Mereka menjadi anggota parlemen karena keterpanggilan perjuangan. Tanpa mengenal “money politics” sama sekali. Berbanding terbalik dengan zaman now, dunia politik Indonesia semakin berubah bahkan dapat dikatakan bergeser dari platform keteladanan masa lalu.
Menjadi anggota parlemen seakan simbol kekuasaan. Simbol itupun dilambangkan dalam sekeping PIN atau emblem emas yang kini banyak dipersoalan, termasuk dalam kasus Melky ini.
Ia seakan mau membalik siatuasi dimana kehormatan berparlemen tidak ditentukan oleh sepotong PIN. Padahal hakikat berparlemen adalah sarana memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya.
Kita dapat melihat contoh seperti Kongres Amerika Serikat, mereka memiliki “The Library of Congress” sebagai perpustakaan yang terlengkap sedunia.
Dimana setiap anggota kongres wajib di back-up 5 tenaga periset utk mendukung soal dan tema yang mereka bicarakan dalam rapat-rapat Kongres.
Sehingga anggota Kongres dituntut kualitatifnya secara penuh dan memiliki referensi dan database yang cukup, tidak asbun atau 5 D..(datang, duduk, diam, dengar, duit) belaka.
Mungkin saja rekrutmen politik juga harus diperbaiki sistemnya karena gejala menguatnya money politics akan menghadirkan cukongisme dan oligarkhi politik yang pada dasarnya merusak tatanan demokrasi yang sesungguhnya.
PIN pun menjadi simbol utama bukan kapasitas akomodatif terhadap aspirasi rakyat yang diwakili sang anggota parlemen. Apalagi ia bernampilan necis, sepatu vantofel lancip, dan rambut disisir rapi, lalat tera maar riki jatuh, menjadi tuntutan.
Gedung parlemenpun laksana pesta jadi, tidak lagi melahirkan sesuatu sebagaimana cerita Volksraad dan Konstituante pada masa lalu..padahal perjuangan dimulai dari situ, entah itu reklamasi, banjir investasi asing, tata ruang, bahkan kedaulatan negeri, dipertaruhkan digedung parlemen..dan itu semua, memang tidak tergantung pada seberapa kilogram emas yang tertancap dibaju kita.
Melky seakan mengingatkan kita semua atas statement cendikiawan Bertholt Brecht, bahwa buta yang sesungguhnya adalah buta politik.
Karena hari ini, dalam segala aspek kehidupan, semuanya bergantung pada keputusan politik. Dan disitulah peran hakiki berparlemen diletakkan. Bukan memindahkan puncak emas di Monas ke sudut jas anggota parlemen.
Mungkin saja Melky pernah membaca biografi Presiden AS John Fitzgerald
Kennedy yang pernah berkata ” not ask what the country can do for you, but ask what can you do for your country.” Kata2 itupula yang tertulis pada batu nisan sang presiden di pemakaman Arlington.
Sementara kita, kata sosiolog Vedy R.Hadiz, demokrasi kita masih sakit, tidak sehat, karena terperangkap pada oligarkhi dan money politics yang menguat.(hm)